
Masih Lemah, Bagaimana Perlindungan Keselamatan Jurnalis Dalam Perspektif K3?
Kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih marak. Baik fisik, pelarangan peliputan maupun pelarangan pemberitaan.
JAKARTA, Improvement – Yayasan TIFA kembali mengeluarkan Indeks Keselamatan Jurnalis (IKJ). Skor IKJ tahun 2024 berada di angka 60,5 atau masuk kategori ‘Agak Terlindungi.’
Laporan IKJ yang dilakukan Yayasan TIFA dan Populix, mengukur tingkat pelindungan terhadap jurnalis di Indonesia melalui tiga pilar utama. Yaitu individu jurnalis, stakeholder media, dan peran negara plus regulasi.
IKJ 2024 mengungkap berbagai tantangan besar yang masih dihadapi jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Berbagai risiko, mulai dari kekerasan fisik, intimidasi hukum, serangan digital, hingga tekanan ekonomi, menjadi ancaman nyata bagi para pekerja media.
Dalam laporan itu, sepanjang 2024, tercatat 167 jurnalis mengalami kekerasan degan total 321 kejadian. Bentuk kekerasan paling tinggi adalah pelarangan peliputan (44%) dan larangan pemberitaan (26%).
Dalam soal kekerasan fisik, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat jumlahnya berkisar antara 41 – 87 kasus/tahun. Meski datanya cukup banyak, toh hanya sedikit kasusnya yang berlanjut di meja hijau.
“Data itu menunjukkan bahwa pelindungan keselamatan terhadap jurnalis di Indonesia masih lemah dan memerlukan perhatian serius,” kata Edi Priyanto, praktisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Edi yang juga Wakil Ketua Dewan K3 Provinsi Jawa Timur ini menegaskan bahwa dalam perspektif K3, risiko yang dihadapi jurnalis harus dipetakan dan dimitigasi dengan strategi yang tepat.
Langkah-langkah seperti pelatihan risk assessment, prosedur tanggap darurat, serta penerapan standar keselamatan yang lebih ketat, terutama saat meliput di daerah rawan konflik, sangat diperlukan. Tujuannya agar jurnalis dapat bekerja dengan aman dan terlindungi.
Sebagai pekerja profesional, jurnalis memiliki hak atas lingkungan kerja yang aman. Hak ini mencakup perlindungan dari kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat, buzzer, maupun kelompok tertentu.
Selain itu, aspek perlindungan fisik, seperti penggunaan alat pelindung diri (APD) saat meliput di zona berisiko, juga menjadi bagian penting dari standar keselamatan kerja yang harus diterapkan.
Tak hanya itu, tekanan mental akibat ancaman atau sensor juga menjadi tantangan yang perlu ditangani dengan dukungan psikososial yang memadai. Jurnalis juga membutuhkan perlindungan hukum yang kuat, sehingga tidak ada kriminalisasi terhadap mereka yang menjalankan tugas jurnalistik sesuai dengan prinsip kebebasan pers.
Tanggung Jawab Perusahaan Media
Dari sisi tanggung jawab perusahaan media, IKJ 2024 mencatat bahwa tingkat perlindungan yang diberikan perusahaan terhadap jurnalis berada di angka 73,32. Meski tergolong cukup baik, masih terdapat ruang untuk perbaikan, terutama dalam meningkatkan standar operasional prosedur (SOP) keselamatan kerja. Khususnya bagi jurnalis yang melakukan liputan di area berisiko tinggi.
Perusahaan juga perlu memastikan adanya perlindungan hukum dan pendampingan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman. Lalu menyediakan pelatihan rutin, termasuk pelatihan keamanan digital, untuk mengantisipasi peretasan dan penyadapan.
Di sisi lain, peran pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap jurnalis masih menghadapi tantangan besar. Dengan skor 64,39 dalam indeks keselamatan, regulasi yang ada saat ini masih dinilai belum cukup untuk menjamin keamanan jurnalis.
Beberapa kebijakan bahkan berpotensi membatasi kebebasan pers dan dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang aturan-aturan tersebut. Lalu mengimplementasikan program perlindungan yang lebih konkret, seperti yang diterapkan di sektor-sektor pekerjaan berisiko tinggi lainnya.
Kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, Dewan Pers, organisasi HAM, dan serikat pekerja jurnalis sangat diperlukan. Langkah itu dalam merancang kebijakan yang benar-benar melindungi jurnalis di lapangan.
Selain risiko kekerasan dan ancaman hukum, kondisi ekonomi yang tidak stabil juga berdampak pada keselamatan mental dan fisik jurnalis. Pemangkasan anggaran, pemutusan hubungan kerja (PHK), serta efisiensi besar-besaran di berbagai perusahaan media, semakin memperburuk situasi.
Perusahaan media dituntut untuk tetap memprioritaskan keselamatan kerja jurnalis, sementara serikat pekerja juga harus lebih aktif dalam membela hak-hak jurnalis yang terdampak PHK.
Keseimbangan antara efisiensi bisnis dan jaminan keamanan kerja perlu dijaga agar kualitas jurnalisme tetap terjaga tanpa mengorbankan kesejahteraan pekerja media.
Manajemen Risko Bagi Jurnalis
Melihat berbagai tantangan tersebut, beberapa langkah konkret harus segera diambil untuk memperkuat perlindungan bagi jurnalis. Salah satunya adalah penerapan manajemen risiko bagi jurnalis, termasuk pelatihan keselamatan di lapangan dan keamanan digital.
Perusahaan media juga harus lebih proaktif dalam meningkatkan perlindungan bagi pekerjanya. Baik melalui penyusunan SOP keselamatan yang lebih ketat maupun penyediaan pendampingan hukum bagi jurnalis yang menghadapi ancaman. Selain itu, regulasi yang menghambat kebebasan pers harus direvisi agar tidak menjadi alat kriminalisasi bagi jurnalis yang menjalankan tugasnya secara profesional.
Lebih jauh, kerja sama antara pemerintah, perusahaan media, dan organisasi jurnalis harus diperkuat untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan mendukung kebebasan pers yang sehat. Di tengah tantangan efisiensi di sektor media, kesejahteraan jurnalis tetap harus menjadi prioritas utama.
Keselamatan, Hak Fundamental Jurnalis
Sebagai praktisi K3, Edi Priyanto menekankan bahwa keselamatan jurnalis adalah hak fundamental yang tidak bisa diabaikan. “Perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya kepentingan individu, tetapi juga bagian dari upaya menjaga demokrasi dan kebebasan pers yang sehat di Indonesia,” ujarnya.
Jurnalis yang bekerja dengan aman dan terlindungi akan mampu menghadirkan informasi yang akurat dan berimbang, yang pada akhirnya akan membawa manfaat bagi masyarakat luas. (*/Hasanuddin)