
PEKANBARU, Improvement – Peristiwa pesta pernikahan putera Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) di Garut yang mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, bukan kecelakaan.
Peristiwa yang terjadi di area publik tersebut harus menjadi perhatian serius kalangan profesional K3 dan Keinsinyuran Nasional.
Kejadian itu merupakan alarm besar terhadap lemahnya pengendalian keselamatan dalam kegiatan publik berskala besar.
Demikian dikatakan Ir. Ulul Azmi, ST., M.Si., CST., IPM., ASEAN Eng., seorang praktisi keselamatan kerja nasional dan tokoh insinyur Indonesia. Ketua PII Wilayah Riau ini menyampaikan belasungkawa mendalam kepada para keluarga korban.
Menurutnya, setiap kegiatan yang melibatkan massa dalam jumlah besar harus dirancang secara sistematis berbasis risiko dan prinsip-prinsip keselamatan yang terukur.
Dalam sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dikenal lima tingkatan hirarki pengendalian bahaya yang harus menjadi acuan utama.
Pertama, katanya, eliminasi, yaitu menghilangkan potensi bahaya sejak tahap perencanaan. Kedua, substitusi, yaitu mengganti metode atau sistem yang berisiko tinggi dengan yang lebih aman.
Ketiga, rekayasa teknis (engineering control), yaitu penerapan desain teknis. Ia mencontohkan pengaturan alur masuk dan keluar berbasis sistem jalur satu arah (one way traffic).
Lalu, pembagian zona lokasi sesuai kapasitas maksimal orang per meter persegi dan pemasangan pagar pembatas (barikade modular). Selanjutnya, penempatan CCTV untuk pengawasan kerumunan secara real time, serta penguatan akses evakuasi darurat melalui pintu-pintu yang terbuka secara otomatis (panic door).
Penerangan area juga harus disesuaikan dengan standar pencahayaan minimum 300 lux untuk area padat agar memudahkan visibilitas.
Keempat, pengendalian administratif, berupa pengaturan waktu dan jadwal kedatangan, sistem tiket atau kupon terkontrol, penyampaian informasi alur melalui pengeras suara. Serta kehadiran petugas keamanan dan marshal lapangan.
“Kelima, penggunaan alat pelindung diri (APD), khususnya bagi petugas, seperti rompi visibilitas tinggi, peluit darurat, dan handy talky untuk komunikasi,” kata Ulul Azmi dalam keterangan tertulisnya yang diterima Improvement, Jumat (18/7/2025) malam.
Keselamatan Sering Diabaikan
Lebih lanjut, Ir. Ulul Azmi menekankan bahwa rekayasa teknis harus menjadi prioritas utama karena menyentuh pada sumber bahaya langsung.
“Sayangnya, dalam banyak kegiatan sosial berskala besar, aspek ini sering diabaikan atau dianggap tidak penting. Padahal, metode-metode teknis ini telah terbukti efektif mencegah kekacauan dan menyelamatkan nyawa manusia dalam banyak event internasional,” katanya.
Selain itu, ia menekankan pentingnya penyusunan dan pelaksanaan dokumen kontrol keselamatan yang lengkap dan komprehensif. Dokumen tersebut meliputi HIRADC (Hazard Identification, Risk Assessment and Determining Control) penyelenggaraan acara.
Dokumen itu penting untuk memetakan semua potensi bahaya sejak awal, Event Safety Management Plan (ESMP), sebagai rencana keselamatan keseluruhan. Layout Acara, termasuk zoning crowd control dan jalur evakuasi.
Lalu Risk Register, berisi daftar dan level risiko untuk setiap area atau aktivitas. Daily Safety Briefing Note, sebagai arahan harian untuk petugas.
Emergency Response Plan (ERP), memuat tindakan bila terjadi kondisi darurat. “Checklist Kesiapan Acara, untuk memastikan seluruh aspek teknis siap sebelum acara dimulai, SOP Petugas Keamanan, Pengarah Kerumunan, dan Petugas Evakuasi,” sambungnya.
Menurut Ir. Ulul Azmi, keberadaan dokumen-dokumen tersebut bukan sekadar formalitas atau kelengkapan administrasi. Melainkan bentuk tanggung jawab profesional dalam mengendalikan risiko dan melindungi keselamatan publik.
Ia juga menekankan pentingnya simulasi atau drill sebelum hari H acara, agar semua petugas paham peran dan alurnya.
Budaya Antre
Di luar aspek teknis, Ir. Ulul Azmi juga menyoroti pentingnya membangun budaya masyarakat yang tertib dan sadar keselamatan. Ia menegaskan bahwa tragedi ini juga memperlihatkan lemahnya budaya antre di masyarakat Indonesia.
Dalam banyak kegiatan publik, kepatuhan terhadap sistem antre masih rendah, bahkan sering dianggap remeh. Padahal, budaya antre adalah bagian integral dari keselamatan kolektif. Tanpa disiplin dalam mengikuti alur, berdesakan bisa menjadi pemicu chaos yang berujung fatal.
Menanamkan budaya antre, menurutnya, harus dimulai dari pendidikan dasar, lingkungan keluarga, hingga menjadi kebiasaan dalam setiap interaksi sosial. Pemerintah, sekolah, tokoh masyarakat, dan media harus secara konsisten mengampanyekan pentingnya disiplin dalam antre sebagai bagian dari etika publik dan keselamatan sosial.
Sebagai Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah Provinsi Riau, Ir. Ulul Azmi mengingatkan bahwa tugas insinyur tidak hanya membangun fisik dan struktur. Tetapi juga memastikan bahwa setiap aspek teknis mendukung keselamatan manusia.
“Tragedi dalam pesta rakyat ini harus menjadi momentum bersama untuk memperkuat budaya keselamatan dan membangun sistem pengendalian risiko yang berbasis ilmu, integritas, dan kesadaran sosial. Saya berharap seluruh keluarga korban diberi ketabahan dan peristiwa ini menjadi pelajaran berharga agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan,” pungkasnya. (Hasanuddin)