IndividualProfileSustainability

Senyum Anak-anak Lembata, Bahan Bakar Terbesar (4)

Peluh yang setiap hari membanjiri tubuhnya, tak dirasakan. Kelelahan berganti menjadi senyuman manakala melihat anak-anak Lembata.

JAKARTA, Improvement – Kelelahan yang ia rasakan selama mengayuh sepeda selama 20 hari sejauh lebih dari 2.500 km, terbayar sudah.

Ia rela bermandikan keringat dalam kayuhan sepeda, dari Jakarta ke Lembata NTT demi tujuan mulianya : memperbaiki sekolah di Lembata.

Baginya, senyum anak-anak Lembata, adalah bahan bakar terbesarnya. Target penggalangan dana Rp100 juta demi perbaikan madrasah di Lembata masih jauh dari harapan. “Baru tercapai 25 persennya,” katanya.

“Saya tidak berharap banyak. Yang penting saya sudah berusaha, dan semoga usaha ini bisa  berdampak. Pihak sekolah nanti yang akan mengelola dana yang saya kumpulkan itu. Tugas saya adalah bergerak, dan itulah yang saya lakukan saat ini,” sambung Dody.

Alih-alih lelah, ia justru bahagia. Senyum anak-anak Lembata, menjadi obat tersendiri baginya. Apalagi anak-anak di sana, langsung menyambutnya penuh riang.

Tak hanya anak-anak, para orangtua pun ikut menyambut kedatangan Dody. Sebagian warga malah melihat dan ada yang memegang sepeda yang digunakan.

“Mungkin mereka gak percaya dan gak nyangka jika saya memang berangkat dari Jakarta naik sepeda,” kata Dody terkekeh.

Kisah Ride for Lembata

Perjalanan aksi kemanusiaan Dody bersepeda sejauh 2.500 km bermula ketika ia bertandang ke Lembata, tahun 2022 silam. Kala itu, ia datang ke Lembata dengan membawa sepeda lipatnya, sebatas touring.

Di sana, ia menyaksikan langsung ketimpangan yang memilukan: anak-anak bersekolah tanpa alas kaki,  bangunan yang didirikan ala kadarnya, dan keterbatasan fasilitas.

“Saya nggak bisa diam. Harus ada yang saya lakukan,” katanya.

Inspirasi datang saat mengawal petualangan Devi, pegiat Run for Equality. Tahun 2024, Devi bersepeda untuk air bersih di NTT dengan rute dari Jakarta ke Bali sejauh .186 km.

Dody lantas berpikir, “Kenapa hal serupa nggak saya lakukan  untuk pendidikan di Lembata?” Pikiran itu akhirnya mengkristal menjadi proyek sosial pertamanya yang berkolaborasi dengan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia). Proyek sosialnya itu kemudian diberinama Ride for Lembata.

Demi Masa Depan Anak-anak Lembata

Di pulau Lembata, NTT, banyak anak lulusan SD yang nasib pendidikannya terancam. Tidak ada sekolah menengah di desa mereka, dan jarak yang jauh membuat orang tua ragu melepas anaknya pergi.

Tahun 2024, warga sebuah desa di Lembata memutuskan untuk membangun sekolah secara swadaya. Mereka mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs), setara SMP.

Bangunannya sederhana: bambu untuk dinding, papan bekas untuk meja, dan atap yang tak selalu mampu menahan terik matahari atau hujan.

Tapi dari “sekolah darurat” ini, harapan tumbuh. Awalnya, hanya anak-anak Desa Wowong yang bersekolah di sini. Kini, murid-murid dari desa tetangga mulai berdatangan.  Setiap pagi, puluhan anak-anak berjalan kaki melintasi bukit.

Peluh yang bercucuran tak mengendurkan semangat untuk menimba ilmu. Sorot mata mereka tetap berbinar demi menyambut harapan yang lebih baik di masa depan.

Namun, masalah baru muncul: ruangan tak lagi cukup. Beberapa kelas harus bergantian menggunakan ruangan yang sama. Saat hujan, pembelajaran sering terhenti karena atap bocor. Dody pun tergerak untuk melakukan sesuatu. (bersambung/Hasanuddin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button