
Sampah Plastik Jakarta ‘Berlayar’ Sejauh 9.000 Km
Pelacak mini dipasang pada sampah yang terhanyut di sembilan sungai Jakarta. Satu di antaranya terdeteksi berlabuh di Afrika Selatan, sekitar 9.000 km dari Jakarta.
JAKARTA, Improvement – Dua per tiga luas bumi adalah lautan, dan karena hal itu pula lah segala makhluk hidup di bumi, termasuk umat manusia, bisa hidup dengan menghirup oksigen.
Laut menjadi ekosistem terbesar makhluk hidup di bumi, sekaligus menjadi tempat paling misterius di bumi. Sejak manusia menghuni bumi jutaan tahun lalu, baru sekitar 5 persen kehidupan di laut yang diungkap.
Lautan menjadi media transportasi utama tertua kedua manusia setelah daratan. Lewat lautan, manusia menjelajah daratan di segala penjuru dunia hingga kita bisa mengenal peta dunia.
Lautan juga menjadi media transportasi bagi sampah yang sulit diurai, plastik, untuk bisa berkelana ke segala daratan di dunia.
Sekitar pertengahan 2015, tim peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memasang 11 drifter—sebuah pelacak lokasi berukuran mini—pada sampah yang mengalir dari sembilan sungai di Jakarta.
Pemasangan drifter dilakukan guna memantau seberapa jauh jarak sampah-sampah plastik Jakarta berlayar di lautan. Periode pemantauan dilakukan selama setahun. Hasilnya, 2 drifter tersangkut di Pulau Bengkulu, 4 di Kepulauan Seribu, dan 4 lainnya tersangkut di pantai Jawa Barat.
“Dan satu nyasar sampai ke Afrika Selatan,” tutur Muhammad Reza Cordova, peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), yang turut andil dalam proyek penelitian itu, sebagaimana dilansir dari laman detikX edisi Selasa (13/6/2023) silam.
Bahkan sampah plastik yang banyak terdampar di Pantai Seychelles, Afrika sebagian besar berasal dari Indonesia. Jarak antara Jakarta dan Afrika Selatan terbentang lebih dari 9.000 kilometer atau hampir dua kali lipat jarak Sabang ke Merauke.
Studi yang dilakukan para peneliti BRIN pada 2020 juga menunjukkan data bahwa sampah-sampah plastik dari Indonesia berlayar jauh sampai ke negara-negara tetangga.
Dalam jurnal berjudul ‘Marine Debris Pathway Across Indonesian Boundary Seas’, sampah dari utara dan selatan Indonesia terombang-ambing sampai ke Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Sampah-sampah itu kemudian ‘mampir’ di beberapa kepulauan Indonesia dan sebagian sampai ke negara belahan Asia lain.
Di bagian utara Indonesia, wilayah yang terdampak antara lain Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Raja Ampat Papua. Di bagian selatan, sampah-sampah itu berlayar sampai ke Pulau Aru, Pulau Babar, Sumba, Bali, dan Jawa Barat.
Sedangkan di luar garis batas perairan Indonesia, sampah-sampah itu bertualang sampai ke Malaysia, Timor Leste, Brunei Darussalam, Thailand, dan Australia.
Temuan dari studi mutakhir juga menemukan hasil senada. Sebagian besar sampah plastik, tutup botol, dan barang rumah tangga kecil yang terdampar di Seychelles, Afrika Timur, berasal dari Indonesia. Seychelles adalah sebuah negara kepulauan berbentuk republik yang terletak 1.600 km sebelah timur daratan benua Afrika.
Bahkan dalam riset yang dipublikasikan di jurnal Marine Pollution Bulletin pada Februari 2023 sampah plastik seperti sandal pantai, botol, hingga jaring apung yang berasal dari Indonesia bisa bertahan di lautan setidaknya selama 6 bulan hingga lebih dari 2 tahun.
Penulis utama penelitian bertajuk ‘Sources of marine debris for Seychelles and other remote islands in the western Indian Ocean’ ini, Noam Vogt-Vincent, berasal dari Departemen Ilmu Bumi University of Oxford.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), dalam lima tahun terakhir, Indonesia menghasilkan sedikitnya 23-34 juta ton sampah per tahun. Sekitar 16-20 persen atau 3,68-6,8 juta ton merupakan sampah plastik yang sulit terurai.
Kepala Administrasi Penanggulangan Pencemaran Kementerian Kelautan dan Perikananyang kala itu dijabar Hendi Koeshandoko mengatakan, dari total sampah plastik itu, sekitar 20 persennya mengalir ke sungai dan berlayar hingga ke lautan.
Jumlahnya 270-680 ribu ton per tahun. Sampah-sampah inilah yang akhirnya juga mencemari negara tetangga dan Samudra Hindia. Sebaliknya, sampah dari negara-negara tetangga juga banyak yang mengalir dan tersangkut di pesisir maupun perairan Indonesia.
Jadi, saatnya meninggalkan plastik dan beralih ke bahan yang ramah lingkungan, untuk kepentingan pribadi seperti kantong belanja. (berbagai sumber/Hasanuddin)