EventSustainability

Perusakan Marak, Patung di Ruang Publik Patut Dilindungi

Pada setiap karya patung yang terpajang di ruang publik, ada gagasan, pemikiran, rasa, kreativitas, keringat, kerja tim, sejarah, budaya, dan tentu biaya yang tidaklah sedikit.

JAKARTA, Improvement – Patung “Tiga Mojang”  di Perumahan Harapan Indah, Bekasi dibongkar paksa pada 19 Juni 2010.  Patung setinggi 17 meter tersebut baru didirikan pada 4 Mei 2010. Sempat menjadi ikon Perumahan Harapan Indah, meski seumur jagung.

Pembongkaran dilakukan karena patung perunggu tersebut dinilai melanggar kesopanan oleh salah satu ormas.

Patung itu merupakan karya Nyoman Nuarta, pematung besar Indonesia, yang menggambarkan harapan bagi perumahan yang baru berkembang di Bekasi.

Terus berputar menjangkau langit. Terus berputar menjangkau asa. Bersatu, bersinergi dalam satu dinamika. Gapai sebuah harapan nan indah.” Begitu tulis Nyoman di patung tersebut.

Berat patung tersebut belasan ton. Sebuah proses amat panjang pembuatan hingga pendirian di lokasi, sirna begitu saja dalam sekejap.

Patung Tiga Mojang, karya Nyoman Nuarta.

Patung “Tiga Mojang” merupakan satu dari begitu banyak karya Nyoman Nuarta di ruang publik yang mengalami perusakan dan perobohan. Beberapa karyanya bahkan sengaja dimutilasi untuk dijual secara rongsokan.

“Ada juga patung di ruang publik karya saya yang sengaja dirusak untuk kemudian dikiloin,” kata Nyoman Nuarta saat tampil sebagai pembicara dalam acara peluncuran buku “Pelindungan Seni Patung di Ruang Publik,” karya Dr Inda Citraninda Noerhadi, SS, MA di Aula HB Yasin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (3/10/2025).

Pematung asal Bali ini telah melahirkan begitu banyak karya seni patung. Sejak 1976, ia telah menghasilkan lebih dari 100 karya seni publik, termasuk patung Garuda di IKN yang beratnya mencapai hampir 1,4 juta kilogram.

Perusakan seni patung di ruang publik tak hanya dialami Nyoman Nuarta, tapi juga seniman ruang publik lainnya di Indonesia. Bentuknya pun beraneka rupa seperti pencurian, perusakan, pembakaran, pembongkaran, pemindahan sepihak, dan sebagainya.

Pembicara lainnya, Asikin Hasan punya pengalaman tak kalah menariknya. Ia beberapa kali bertemu Edhi Sunarso (kini alm), pematung hebat Indonesia lainnya. Kepada Asikin, Edhi Sunarso pernah mengisahkan pengalaman pahitnya saat membuat patung “Selamat Datang” di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

“Pak Edhi justru pernah dijebloskan ke penjara lantaran dituduh sebagai penadah barang curian. Padahal, justru ia yang membuat patung Selamat Datang,” kata Asikin, kurator kesohor.

Penahanan itu dipicu lantaran saat itu (awal tahun 1960-an) ia kekurangan bahan logam perunggu. Alhasil, patung Selamat Datang dibuat dengan bahan campuran. “Ada batang rel kereta api, panci, wajan, dan berbagai benda logam lainnya,” kata Asikin dalam acara yang dipandu sejarawan JJ Rizal tersebut.

Patut Dilindungi

Karya seni patung di area publik (public art) rentan akan aksi perusakan, perobohan, pemindahan, pembongkaran, dan aneka aksi anarkis lainnya. Baik berupa karya seni pesanan (comission work) maupun bukan.

“Proteksi hukum bagi karya seni patung di ruang publik sangat penting dilakukan karena sudah banyak terjadi kasus perusakan atas dasar suku, agama, ras, dan antargolongn (SARA),” kata Inda Citraninda Noerhadi, penulis buku.

Upaya pelindungan karya seni di ruang publik, termasuk seni patung, penting dilakukan sebab di dalam setiap karya seni terdapat proses penciptaan.

Selama ini, kata Inda, aparat penegak hukum (APH) menggunakan kacamata pidana dalam menangani setiap aksi perusakan seni patung di ruang publik.

Dikatakan, pendekatan hukum pidana itu tidak lah salah, sebab belum memasyarakatnya Undang Undang No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC).

Menurut Inda, pelindungan seni patung di ruang publik secara regulasi diatur dalam UUHC dan UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UUCB).

Penggunaan UUCB dalam pelindungan seni patung di ruang publik digunakan. Hal ini mengingat tidak sedikit dari patung-patung yang saat ini berdiri berusia setengah abad dan memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah, dan budaya.

Inda mencontohkan patung-patung yang berdiri di kota Jakarta seperti Patung Selamat Datang, Dirgantara, Pembebasan Irian Barat, dan lainnya.

Namun untuk Indonesia, penggunaan dua regulasi tersebut dalam upaya melindungi seni patung di ruang publik masih jauh dari kata optimal.

VARA

Inda lalu melakukan komparasi regulasi di sejumlah negara. Dalam risetnya, Inda menyebutkan bahwa Amerika Serikat cukup berhasil dalam menjamin pelindungan hak moral atas karyanya serta meningkatkan kesejahteraan seniman melalui Visual Artist Rights Acts (VARA).

VARA, katanya, memuat model pelindungan terhadap karya cipta commission work secara komprehensif. “Tapi Indonesia tidak bisa menerapkannya sebab VARA bukanlah konvensi internasional yang melibatkan keanggotaan Indonesia di dalamnya,” kata Inda seraya menyebutkan bahwa bukunya itu merupakan disertasinya dalam meraih gelar Doktor di bidang hukum pada 2017 silam.

Ia menyarankan agar UUHC perlu segera dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah agar norma-norma pelindungan karya seni rupa di ruang publik dapat benar-benar diwujudkan secara efektif.

“Sangat mendesak perlunya dibentuk sebuah Dewan Komisioner yang bertugas memberikan pengarahan serta upaya mengatasi pelanggaran terhadap karya seni patung di ruang publik,” saran Sarjana Arkeologi lulusan Universitas Indonesia tahun 1983 ini.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Agung Darmasasongko yang hadir dalam acara itu, menyambut baik gagasan Inda yang dituangkan melalui bukunya. Ia tak menampik jika UUHC belum memasyarakat di Indonesia, utamanya di kalangan seniman.

“Akhir-akhir ini mungkin baru seni musik yang gencar menggaungkan pentingnya Hak Cipta. Beberapa kasus yang dianggap pelanggaran hak cipta bahkan sempat viral di masyarakat,” katanya.

Ia menyambut baik kehadiran buku karya Inda Citraninda Noerhadi yang dinilai sebagai masukan berharga bagi Ditjen HAKI.

“Buku ini seyogyanya mampu menerangi gelapnya pelindungan budaya, mengurangi pelanggaran hak atau setidaknya memberikan apresiasi lebih dalam. Tujuannya agar  masaraka lebih sadar bahwa setiap seniman selalu bekerja dan belajar terus menerus terkait etik dan sopan santun serta menghindari hal-hal yang mudarat bagi masyarakat,” tulis Nyoman Nuarta dalam pengantar buku. (Hasanuddin)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button