Sustainability

Tekan Emisi Karbon, Pemerintah Akan Produksi B40 Sebanyak 15,6 Juta KL/Tahun pada 2025

Pencampuran minyak sawit (CPO) ke bahan bakar fosil jenis solar, terbukti mampu menghemat devisa negara hingga Rp122,98 triliun pada 2023 dan 2024.

JAKARTA, Improvement – Sejak pertama kali digaungkan pada 2015, program penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) dari Kelapa Sawit sebagai campuran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar, terus diperbarui dari tahun ke tahun.

Semula penggunaan BBN dari minyak sawit (CPO) hanya 20 persen (B20) pada 2015, lalu meningkat menjadi 30 persen (B30) pada 2020, selanjutnya 35 persen (B35) di 2023. Kini, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menambah kandungan campuran minyak sawit ke dalam Solar sebanyak 40 persen atau Biofuel (B40) dan menargetkan menjadi B50 pada 2026.

Hal itu diungkap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat konferensi pers di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (3/1/2025). Pada kesempatan itu Menteri Bahlil mengumumkan bahwa mulai 1 Januari 2025, pemerintah memberlakukan mandatori kebijakan pencampuran biodiesel sebesar 40 persen atau B40.

Dengan penetapan kebijakan mandatori peningkatan pencampuran biodiesel ini, maka kuota biodiesel pada 2025 juga ditetapkan naik menjadi 15,62 juta kilo liter (kl) dari realisasi penyerapan B35 pada 2024 yang tercatat sebesar 12,98 juta kl.

“Kami baru saja selesai membahas rapat secara detail terkait urusan biodiesel. Kita sudah memutuskan dari ESDM tentang peningkatan daripada B35 ke B40 dan hari ini kita umumkan bahwa berlaku per 1 Januari 2025, di mana B35 itu menghasilkan kurang lebih sekitar 12,98 juta kl meningkat menjadi 15,6 juta kl (B40), dan Keputusan Menteri sudah kita tanda tangani,” kata Bahlil.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat memberikan keterangan kepada awak media terkait B40. (Foto: majalah tambang online)

Berdasarkan data Kementerian ESDM, selama menerapkan mandatori B35, pada 2024 pemerintah tercatat menghemat devisa negara sebesar 7,78 miliar dolar AS atau sekitar Rp122,98 triliun.

Selain itu, peningkatan nilai tambah minyak sawit (CPO) menjadi biodiesel sebesar Rp17,49 triliun, dan penyerapan tenaga kerja lebih dari 12.000 orang (off-farm) dan 1,62 juta orang (on-farm).

Menurutnya, pemerintah akan terus memperbaiki kadar air dari implementasi pencampuran biodiesel ini. “Sekarang kan kadar airnya 320, masih ada langkah-langkah yang akan dilakukan terkait transportasi karena kita akan meningkatkan spek kapal, sehingga kadar airnya betul-betul seminimal mungkin,” katanya.

Bila ini bisa diperbaiki, maka menurutnya pemerintah akan melanjutkan pada campuran biodiesel 50% atau B50 pada 2026 mendatang. “Kalau ini dilakukan baik, insya Allah 2026 kita harus dorong ke B50 sesuai arahan Pak Prabowo,” ucap Bahlil.

Kilang Plaju dan Kasim

Terpisah, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari mengatakan, pihaknya telah menerima Surat Keputusan dari Kementerian ESDM untuk mengimplementasikan Biodiesel B40 mulai Januari 2025.

“Secara SK dari Kementerian ESDM sudah kami terima, tinggal kami menunggu detail teknis pelaksanaannya,” kata Heppy sebagaimana dilansir dari laman kompas.com, Kamis (2/1/2025).

Heppy memastikan, Pertamina siap menyalurkan B40 untuk sektor transportasi dan industri sesuai kebijakan pemerintah. Nantinya, waktu penyaluran Biodiesel B40 di masing-masing SPBU akan bervariasi, karena menghabiskan sisa stok B35 di tangki pendam yang masih ada.

Biodiesel B40 akan disalurkan untuk menggantikan Biosolar 35 atau B35 yang selama ini dijual Pertamina. “(Kalau harga per liternya) coba ke Kementerian ESDM,” kata dia.

Saat ini, PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan dua kilang utama untuk mendukung produksi B40, yakni Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. Selain itu, pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati juga akan dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga.

Sementara itu, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Saleh Abdurrahman mengatakan, biosolar yang dijual di Indonesia ada yang bersubsidi atau jenis BBM tertentu (JBT) dan nonsubsidi.

“Untuk yang JBT penetapan harganya oleh pemerintah. Saat ini harga biosolar (yang kandungan fatty acid methyl esters 35 persen) ditetapkan Rp 6.800/liter,” kata Saleh.

Jika nantinya B35 diganti dengan B40, ia memastikan harganya tetap akan sama setelah mendapat subsidi dari pemerintah. Meski harganya sama, BBM B40 memiliki keunggulan karena bisa meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi.

Di sisi lain, implementasi BBM B40 juga bisa membatasi konsumsi solar berbasis fosil, sehingga dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor BBM.

Kereta Api

Lantas, siapa pengguna dari B40? Sejauh ini, pengguna terbesar biodiesel adalah PT Kereta Api Indonesia (KAI). Transportasi berbasis rel ini sudah menggunakan biodiesel sejak pemerintah meluncurkan B20 pada tahun 2018.

Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan bahwa penggunaan bahan bakar biodiesel B40 sudah mulai diuji secara resmi pada kereta api. Bahan bakar campuran solar dan minyak sawit ini targetnya akan digunakan secara penuh pada tahun 2025 mendatang.

Harapan dari penggunaan B40 ini yakni mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil sehingga penggunaan biodiesel bisa menekan emisi. Uji penggunaan pada kereta api ini menurut Eniya adalah bagian dari uji penggunaan B40 untuk sektor non-otomotif pada tahun ini.

Sementara uji penggunaan pada sektor otomotif telah rampung pada tahun 2023 lalu. Uji penggunaan sektor non-otomotif, selain KA, juga mencakup alat pertanian, pembangkit listrik, alat berat pertambangan, dan angkutan laut.

Atas hal tersebut, dirinya pun mengaku optimis jika penggunaan B40 bisa semakin meningkatkan penghematan devisa negara dari pengurangan impor solar jika dibandingkan dengan biodiesel sebelumnya, yakni B35.

Di sisi lain, peningkatan pemakaian biodiesel juga akan makin menurunkan emisi karbon di Indonesia sehingga makin ramah lingkungan. Lebih lanjut, Eniya menjelaskan penghematan devisa dari penggunaan B35 pada sektor otomotif dan non-otomotif pada tahun 2023 ini mencapai Rp122 triliun.

Pada tahun 2025 nanti, ada target penurunan karbon dioksida (CO2) mencapai 42,5 juta ton dari estimasi pemakaian 16 juta kiloliter (kl) B40. Target tersebut diketahui lebih besar dari pemakaian B35 yang mencapai 12,23 juta kl pada tahun 2023 dan diperkirakan mencapai 13 juta kl hingga akhir tahun 2024 nanti.

Vice President Logistics PT KAI Suryawan Putra Hia mengatakan bahwa penggunaan B35 di PT KAI selama ini tidak menimbulkan masalah pada performa mesin. PT KAI membutuhkan 300 juta liter setahun untuk penggunaan bahar bakar.

Bagi KAI, penggunaan biodiesel bukan barang baru, Pihaknya sudah menggunakan biodiesel sejak masih B20, berlanjut ke B30, dan terakhir B35.  “KAI akan mendukung semaksimal mungkin program strategis pemerintah ini,” tegasnya.

Uji penggunaan B40 di PT KAI  dilakukan untuk bahan bakar mesin lokomotif dan mesin genset kereta api. Uji penggunaan mesin lokomotif itu masih dilakukan pada kereta barang rute Jakarta-Surabaya dan uji gensetnya dilakukan pada KA Bogowonto dengan rute Lempuyangan-Pasar Senen.

Adapun uji penggunaan B40 dilakukan di fasilitas PUK Lempuyangan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) di kompleks Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, Senin (22/7/2024) silam.

Untuk mendukung uji penggunaan itu, telah dibangun fasilitas blending (pencampuran bahan bakar) dan pengisian bahan bakar di lima lokasi milik PT KAI, yakni Cipinang (Jakarta), Arjawinangun (Cirebon), Cepu (Blora), Lempuyangan (Yogyakarta), dan Pasar Turi (Surabaya). (berbagai sumber/Hasanuddin)

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button