
JAKARTA, Improvement – Kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Indonesia, terus menunjukkan eskalasi peningkatan dari tahun ke tahun.
Angkanya bahkan sudah menembus lebih dari 400 ribu kasus pada 2024. Namun, apakah aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sudah menjadi perhatian negara? Sekalipun dampak dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja multidimensi?
Nyatanya belum. Hal ini diungkap langsung oleh Menteri Ketenagakerjaan RI Prof Yassierli.
Menaker tegas menyatakan bahwa K3 belum menjadi harapan besar negara. Hal itu diungkap Menaker di hadapan para ahli K3 yang tergabung dalam INOSHPRO (Indonesia Network of OSH Professionals).
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia, katanya, masih didominasi oleh persoalan pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Prioritas kedua terkait penyiapan SDM di masa depan. “Kemnaker memiliki sekitar 300 Balai Latihan Kerja (BLK) yang harus dioptimalkan. Tujuannya untuk menyiapkan tenaga kerja agar bisa bekerja sehingga bisa menekan angka pengangguran,” kata Menaker dalam pertemuan dengan jajaran INOSHPRO di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Menaker melanjutkan, prioritas ketiga ketenagakerjaan adalah persoalan terkait hubungan industrial. Keempat masalah norma ketenagakerjaan. “Setelah itu, barulah K3,” katanya.
Pada kesempatan itu, Menaker mendorong INOSHPRO untuk merumuskan strategi K3 lebih berdampak nyata dalam menghadapi berbagai tantangan ketenagakerjaan saat ini.
Menurut Menaker, persoalan K3 di Indonesia tidak dapat diselesaikan hanya melalui pendekatan seremonial atau normatif. Diperlukan transformasi menyeluruh yang menyentuh aspek-aspek mendasar. Misalnya saja terkait sistem pengawasan, penegakan hukum, hingga budaya kerja yang menjunjung tinggi keselamatan.
“Kita punya problem terkait pengawas ketenagakerjaan. Semua rekomendasinya mengatakan agar menarik pengawasan ke pusat, padahal itu tidak sederhana. Butuh effort besar dan belum tentu para pengawas bersedia. Ini menjadi tantangan tersendiri,” katanya.
Budaya Transformasi
Menaker juga menyoroti lemahnya penegakan hukum serta masih rendahnya kepedulian terhadap K3 di berbagai sektor. Oleh karena itu, ia menantikan gagasan dan rekomendasi dari INOSHPRO yang dapat mendorong transformasi nyata di bidang K3.
“Yang dibutuhkan adalah sesuatu yang lebih konkret. Kami menunggu ide-ide dan rekomendasi. Kita menginginkan impactful transformation,” tegasnya.
Ia menambahkan, masih banyak pekerjaan rumah dalam isu K3. Salah satunya menyangkut kualitas praktisi.
Banyak di antara mereka berasal dari pelatihan jangka pendek. “Lewat pendidikan dan pelatihan selama 7 hari misalnya, sudah mengantongi sertifikat Ahli K3,” sindirnya.
Alhasil, mereka belum memiliki pemahaman memadai tentang filosofi K3. Meliputi kecelakaan kerja, sistem manajemen K3, maupun aspek psikologis yang memengaruhi keselamatan di tempat kerja.
Sebelum menutup pertemuan, Menaker meminta dukungan INOSHPRO untuk bersama-sama memperkuat ekosistem K3 yang lebih kokoh dan berdaya saing. (Hasanuddin)