Sustainability

Ketua PII Riau: Karhutla di Riau dan Sumbar Diduga Kuat Akibat Unsur Kesengajaan Manusia

Sumber panas yang menyebabkan vegetasi terbakar tidak mungkin tercapai secara alami, melainkan akibat aktivitas manusia.

PEKANBARU, Improvement – Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau, terus terjadi. Berdasarkan data BNPB, hingga pertengahan Juli 2025 saja, karhutla terjadi merata di  12 kabupaten/kota di Riau.

Luasan lahan yang terbakar paling tinggi tercatat di Kampar dan Bengkalis, bahkan sudah melampaui 100 hektar. Menyusul di belakangnya, Kabupaten Rokan Hilir, Siak, hingga Indragiri Hilir, yang terbakar lebih dari 50 hektar.

Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Wilayah Provinsi Riau, Ir. Ulul Azmi, ST., M.Si., CST., IPM., ASEAN Eng., mengaku prihatin atas maraknya karhutla. Tidak saja yang terjadi di Riau, tetapi juga Sumatera Barat (Sumbar).

Ia menegaskan bahwa berdasarkan kajian teknis, kebakaran tersebut tidak terjadi secara alami, melainkan diduga kuat melibatkan unsur kesengajaan manusia.

“Secara prinsip teknik kebakaran, api hanya dapat muncul apabila tiga unsur utama terpenuhi, yaitu bahan bakar, panas, dan oksigen. Dalam konteks karhutla, sumber panas yang menyebabkan vegetasi terbakar tidak mungkin tercapai secara alami, melainkan akibat aktivitas manusia,” kata  Ir. Ulul Azmi di Pekanbaru, Kamis (24/7/2025).

Ia menjelaskan bahwa suhu lingkungan normal tidak cukup untuk memicu pembakaran. Api baru bisa terbentuk jika suhu mencapai titik nyala (flash point) dari bahan bakar alami di lapangan.

Beberapa contoh titik nyala bahan mudah terbakar antara lain: daun dan ranting kering 190–260°C, serasah dan bahan organik mati 200–300°C, kayu kering 300–400°C, solar 52–96°C, dan bensin -43°C.

Bensin, dengan titik nyala yang sangat rendah, akan mulai menguap dan menghasilkan uap yang mudah terbakar bahkan pada suhu serendah itu. Dalam kondisi tertentu, uap bensin dapat terbakar tanpa memerlukan sumber panas eksternal seperti api terbuka.

Uap bensin akan terbakar cukup dengan percikan kecil atau permukaan yang panas. Karakteristik inilah yang menjadikannya sangat berbahaya apabila disalahgunakan di lapangan terbuka atau kawasan hutan.

“Dengan suhu lingkungan di bawah angka-angka tersebut, kebakaran mustahil terjadi tanpa adanya pemantik seperti api terbuka atau pembakaran langsung. Artinya, faktor manusia sangat besar dalam kasus ini,” tegasnya.

Usut Aktor Intelektual

PII Riau mendorong adanya sinergi antara pendekatan teknis dan penegakan hukum untuk mencegah karhutla berulang.

Selain itu, Ir. Ulul Azmi juga secara tegas meminta kepada aparat penegak hukum (APH) untuk tidak hanya menangkap pelaku lapangan. Tetapi juga mengusut tuntas dan menangkap aktor intelektual yang diduga menjadi dalang di balik pembakaran hutan dan lahan ini.

“Kita tidak bisa lagi menolerir perbuatan sistematis yang merusak lingkungan dan mengancam keselamatan masyarakat. Siapa pun yang terlibat, termasuk aktor intelektual yang mendesain atau memerintahkan pembakaran, harus diungkap dan dihukum secara tegas,” ujarnya.

PII Riau juga siap memberikan dukungan teknis, termasuk analisis titik panas, pemodelan sebaran api, serta edukasi masyarakat untuk meninggalkan praktik pembukaan lahan dengan cara dibakar.

Ir. Ulul Azmi mengajak seluruh elemen masyarakat, dunia usaha, dan pemangku kepentingan untuk berkomitmen menjaga lingkungan secara bertanggung jawab. Karhutla bukan hanya persoalan ekologi, tetapi juga soal integritas, kesehatan publik, dan keberlanjutan masa depan. (Hasanuddin)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button