
Kemnaker : 5 Langkah Pencegahan Kebakaran Bangunan Cagar Budaya
Mulai dari pengendalian setiap bentuk energi hingga kepemilikan buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran.
JAKARTA, Improvement – Kebakaran cagar budaya merupakan peristiwa yang merugikan. Sebab, selain menyebabkan hilangnya warisan budaya yang berharga, kebakaran juga merugikan pengelola, pengusaha, pekerja maupun kepentingan pembangunan nasional. Oleh karena itu, kebakaran cagar budaya perlu ditanggulangi.
Menurut Kepmenaker Nomor 186/MEN/1999, bangunan Cagar Budaya (Museum) termasuk dalam klasifikasi bangunan dengan bahaya kebakaran ringan.
“Artinya, bangunan tersebut mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah, sehingga menjalarnya api lambat,” kata Waluyo, Kasubdit Kesehatan Kerja Direktorat Bina Lembaga K3 Ditjen Binwasnaker dan K3 Kementerian Ketenagakerjaan saat memberikan sambutan dalam Seminar K3 Api Cagar Budaya di Jakarta, Kamis (22/5/2025) silam.
Kendati demikian, katanya, ditinjau dari potensi bahaya fisik, bangunan cagar budaya banyak menggunakan material yang memudahkan penjalaran api. “Seperti karpet, busa, kayu, dan Kertas dimana bahan tersebut merupakan bahan yang sangat mudah terbakar,” katanya.
Dikatakan, pengurus atau pengelola bangunan cagar budaya dan museum, wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran. Kewajiban ini tertuang dalam Kepmenaker No 186/MEN/1999 yang meliputi:
5 Langkah
Pertama, pengendalian setiap bentuk energi. Ia mencontohkan kegiatan konservasi koleksi museum, yang menggunakan bahan kimia. Antara lain alkohol seperti etanol, toluene, hidrogen klorida, asam sitrat, dan formaldehyde.
“Ketika terekspos udara, aseton dan toluena menguap dengan sangat cepat dan mudah sekali terbakar. Selain itu bahan-bahan kimia itu akan berdampak terhadap kesehatan pekerjanya. Seperti iritasi mata, iritasi saluran pernapasan, batuk, sensasi sakit dan terbakar saat terhirup terlalu banyak, ruam dan gatal-gatal, sakit kepala, mual, muntah, pusing, dll,” kata Waluyo.
Pengendalian juga bisa dilakukan terhadap penggunaan material konstruksi pada bangunan cagar budaya. Pemilihan material yang tahan terhadap api menjadi penting karena dampak kebakaran yang dapat ditimbulkan. Tingkat ketahanan api yang berhubungan dengan material yang mudah terbakar perlu dipertimbangkan dalam desain bangunan.
Kedua, penyediaan sarana proteksi kebakaran. Pengelola cagar budaya wajib menyediakan sarana proteksi kebakaran aktif dan pasif sacara memadai. Semakin bangunan itu besar, mewah, dan penting maka keandalan bangunan terhadap proteksi kebakaranpun semakin kompleks.
Guna meminimalisasi kebakaran dan menanggulangi kejadian kebakaran, maka bangunan cagar budaya harus diproteksi melalui penyediaan prasarana dan sarana proteksi kebakaran.
Ketiga, pembentukan unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja. Pengelola cagar budaya wajib membentuk unit penanggulangan kebakaran. Unit ini terdiri dari petugas peran kebakaran, regu penanggulangan kebakaran, koordinator penanggulangan kebakaran dan ahli K3 Penanggulangan Kebakaran.
Mereka memiliki tugas dan peran khusus seperti melakukan identifikasi potensi bahaya kebakaran dan melalukan pemadaman api pada tahap awal. Lalu mengevakuasi orang dan barang, berkordinasi dengan instansi terkait, dll.
Latihan
Keempat, penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala. Pengelola cagar budaya wajib melaksanakan latihan penanggulangan keadaan darurat kebakaran atau drill kebakaran secara berkala minimal 2 kali dalam setahun.
“Hal ini dimaksudkan untuk lebih mempersiapkan dan mensiagakan petugas penanggulangan kebakaran saat darurat kebakaran terjadi. Selain itu untuk memastikan sarana proteksi kebakaran dapat bekerja secara optimal,” ujarnya.
Kelima, memiliki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran. Pengelola cagar budaya wajib menyusun buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran.
Antara lain memuat informasi sumber potensi bahaya kebakaran dan cara pencegahannya, jenis, cara pemeliharaan dan penggunaan sarana proteksi kebakaran.
Lalu prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran, dan prosedur dalam menghadapi keadaan darurat bahaya kebakaran.
“Implementasi K3 yang baik tidak hanya mengurangi risiko kecelakaan kerja, termasuk kebakaran, tetapi juga meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan pekerja,” pungkasnya. (Hasanuddin)