
JAKARTA, Improvement – Kebakaran hebat yang melanda Glodok Plaza di Jakarta Barat, seolah menjadi kado istimewa buat para insan K3.
Peristiwa itu terjadi persis satu hari setelah Menteri Ketenagakerjaan Prof Yassierli, PhD secara resmi membuka Peringatan Bulan K3 Nasional 2025 di Batang, Jawa Tengah, Selasa (14/1/2025).
Kebakaran pusat niaga elektronik tersebut, tentu patut menjadi bahan pembelajaran berharga bagi kita semua.
Bahwa kebakaran bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menimpa siapa saja. Tanpa memandang apapun.
Lantas, bagaimana pakar forensik api menanggapi kebakaran Glodok Plaza yang sudah menewaskan 7 orang?
“Saya turut prihatin dan mengucapkan belasungkawa kepada para keluarga korban yang meninggal dunia dalam peristiwa kebakaran Glodok Plaza,” kata Dr Ir Adrianus Pangaribuan, MT, PFE, CFEI, kepada Improvement, Jumat (18/1/2025) malam.

Pemegang sertifikat CFEI (Certified Fire and Explosion Investigator) dengan nomor registrasi 14553-9874 ini mengaku belum bisa banyak berkomentar. Pasalnya, penyelidikan atas kasus kebakaran Glodok Plaza masih dilakukan petugas berwenang.
Ia mengaku diajak ke lokasi kejadian pada Jumat kemarin. Hanya saja saat itu ayah tiga anak ini sedang berada di Jambi.
Adrianus mengetahui kebakaran Glodok Plaza sebatas informasi yang ia dapat dari pemberitaan.
“Tadi saya sempat baca penyebabnya karena isolasi ruang karaoke yang terbuat dari glasswool/Rockwool. Glasswool atau Rockwool biasanya dibuat dari material fire retardant, untuk memastikan tentu harus diuji,” kata Adrianus.
Fire retardant atau penghambat api adalah bahan yang berfungsi untuk memperlambat atau menghentikan penyebaran api.
Adrianus menggarisbawahi bahwa fungsi itu akan berlaku apabila apinya diambil atau dipadamkan.
“Fire retardant artinya jika terkena api dia terbakar tapi kalau apinya diambil apinya tidak akan tumbuh atau merambat,” katanya.
Faktor Asap
Ia menduga, dalam kasus kebakaran Glodok Plaza, percepatan perambatan api lebih disebabkan oleh asap.
“Jangan lupa bahwa asap yang terbentuk adalah bahan bakar baru yang terbentuk dari hasil pembakaran,” katanya.
“Sehingga jika asap bergerak berarti bahan bakar juga berpindah sehingga jika sumber api tdk bisa dikendalikan, nantinya asap menjadi media atau jembatan untuk berpindah dan menyebar,” Adrianus menambahkan.
Dikatakan, asap lebih ringan sehingga cendrung bergerak ke atas. Jadi jika korban ke atas kemungkinan terjebak di lantai atas sebelum menemukan pintu darurat.
Sebagaimana diwartakan Improvement, petugas menemukan para korban sudah tak bernyawa, terkonsentrasi di lantai 8. Sumber api diduga kuat berasal dari lantai 7.
Disinggung soal lamanya upaya pemadaman yang dipicu material elektronik, Adrianus tak menampiknya.
Barang elektronik, katanya, bisa menjadi satu hal. Pemegang sertifikat PFE (Professional Forensic Engineer) bernomor registrasi 1007-I ini malah menduga, fire alarm tidak berfungsi.
“Faktor bahan bakar berupa barang elektronik satu hal. Hal lain jangan-jangan fire alarmnya tidak berfungsi sehingga tidak bisa memberikan informasi api pada initial stage (tahap awal, red),” kata Adrianus.
Tapi Adrianus mengingatkan bahwa ini baru dugaan. “Saya tidak tahu pasti, tapi dari beberapa orang diwawancara dan diminta keterangan tidak satupun yang menyinggung perihal alarm. Perlu investigasi mendalam,” katanya.
Terkait barang elektronik, Adrianus mengatakan bahwa barang elektronik mempunyai medan magnit yang besar. Medan magnit ini bisa membelokkan arah api.
“Seharusnya mungkin api bergerak ke kiri secara natural karena ada pintu atau sumber oksigen namun oleh medan magnit arah api bisa dibelokkan ke kanan atau ke arah lain yang medan magnitnya tinggi.”
Dari sisi kelistrikan, Adrianus menambahkan, jika suatu gedung beban listriknya rata-rata di atas 80% maka setelah 30 tahun kabel harus diganti atau diremajakan.
“Tapi kalau beban listriknya di bawah 80%, penggantian kabel setelah berumur 40 tahun,” pungkasnya. (Hasanuddin)