
JAKARTA, Improvement – Arus mudik Lebaran 2025 sudah dimulai. Diperkirakan sekitar 146,48 juta orang akan melakukan perjalanan mudik.
Dari total pemudik itu, sekitar 48,6 persen akan menggunakan moda angkutan jalan. Rinciannya, 23 persen atau 33,69 juta orang akan menggunakan mobil pribadi, 16,9 persen atau 24,76 juta orang akan menggunakan bus.
Lalu, sebesar 8,7 persen atau 12,74 juta orang akan menggunakan motor. Sementara 51,4 persen pemudik akan menggunakan moda lain (pesawat udara, kapal laut dan kereta api).
Bisa dibayangkan betapa riuhnya jalanan, kereta api, pesawat terbang, kapal-kapal laut. Semuanya penuh sesak.
Mudik ke kampung halaman, bukan perjalan singkat. Butuh waktu lebih dari satu hari untuk melepas rindu di kampung halaman.
Praktisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Edi Priyanto mengajak masyarakat menjadikan mudik sebagai bagian dari ibadah. “Mari jadikan mudik sebagai bagian dari ibadah yang dijalankan dengan penuh kesadaran, kedisiplinan, dan tanggung jawab terhadap keselamatan,” kata Edi.
Menurut Edi, budaya mudik tidak seharusnya hanya dimaknai sebagai perjalanan emosional menuju kampung halaman. Tetapi juga momen untuk menanamkan kembali nilai-nilai kehati-hatian, kewaspadaan, dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
“Mudik bukan sekadar pulang membawa rindu. Ini tentang bagaimana kita bertanggung jawab atas rumah yang kita tinggalkan, atas tubuh yang kita bawa, dan atas keluarga yang menanti dengan harapan,” kata Wakil Ketua DK3 Provinsi Jawa Timur ini.
Edi mencontohkan beberapa kegiatan kecil namun bisa bermakna besar terhadap keselamatan dan keamanan rumah ketika ditinggal dalam waktu lama. Misalnya saja mencabut peralatan listrik, menutup sumber air, hingga melepas regulator gas.
Ia juga mendorong agar masyarakat mulai membangun sistem keamanan sosial. Antara lain dengan saling menjaga antartetangga, melapor ke pengurus lingkungan, serta menjaga komunikasi melalui kontak darurat.
Namun lebih dari itu, Edi menekankan bahwa keselamatan adalah budaya yang harus hidup dalam diri setiap orang. Bukan hanya ketika bekerja atau saat di jalan raya.
Ia menyebut bahwa sikap disiplin, sabar dalam perjalanan, toleran dalam kemacetan, dan tidak memaksakan diri saat lelah semuanya adalah bentuk manifestasi dari budaya keselamatan sosial.
Mudik Selamat Bagian dari Ibadah
“Mudik yang selamat adalah bagian dari ibadah. Ketika kita menjaga rumah, tubuh, dan sesama, sejatinya kita sedang menjalankan amanah sebagai makhluk yang bertanggung jawab. Ini bukan hanya soal prosedur keselamatan, tapi soal cara hidup yang membawa keberkahan,” tegas Edi.
Dalam konteks perjalanan, Edi juga mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan diri, terlebih bagi pemudik yang berpuasa. Ia menyarankan agar tidak berkendara dalam kondisi mengantuk atau lelah. Lalu biasakan membawa obat-obatan pribadi, vitamin, dan makanan sehat selama perjalanan.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa keselamatan bukan hasil dari peralatan canggih semata, melainkan dari niat dan kesadaran kolektif untuk saling menjaga.
“Jadikan mudik sebagai ruang belajar bahwa keselamatan adalah wujud cinta. Kepada keluarga, kepada rumah, dan kepada masa depan,” kata Edi yang juga dikenal aktif dalam gerakan pemberdayaan masyarakat melalui Kampung Edukasi Sampah di Sidoarjo.
Ia berharap bahwa budaya keselamatan dapat menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup masyarakat, tak hanya saat mudik tapi juga dalam keseharian.
“Kalau selama ini kita mengartikan mudik sebagai perjalanan pulang, saya ingin masyarakat mulai melihatnya sebagai perjalanan pulang yang aman, sehat, dan penuh kesadaran. Kemenangan sejati di Hari Raya adalah saat kita bisa pulang, selamat, dan kembali dengan berkah,” pungkasnya. (*/Hasanuddin)