
JAKARTA, Improvement – Perkembangan teknologi amat pesat dalam dua dekade terakhir, telah mengubah wajah dunia. Baik dalam industri maupun kebudayaan.
Digitalisasi yang terjadi di segala bidang, telah mengubah kehidupan manusia. Baik keseharian maupun di tempat kerja.
Begitu pula dengan dunia industri, yang saat ini telah bertransformasi ke dunia digital. Dan, pandemi Covid-19 yang terjadi pada 2020-2021, telah mempercepat laju transformasi digital di segala lini aktivitas manusia.
Digital telah melahirkan banyak bidang pekerjaan baru, yang sebelum-sebelumnya tidak pernah ada.
Belanja, misalnya, kini tak perlu lagi pergi ke pasar baik tradisional maupun modern. Cukup tekan tombol di ponsel, produk yang kita inginkan bisa hadir sendiri.
Begitu pula ketika hendak bepergian. Kita saat ini tak perlu lagi berdiri di pinggir jalan menunggu taksi dan tak perlu berjalan kaki mencari pangkalan ojek.
Hidup kini semakin mudah. Bekerja kini semakin ringan, karena sudah terbantu dengan digitalisasi, dan bahkan robot.
9 Tantangan
Dalam perspektif Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), revolusi industri dan budaya yang terjadi saat ini, menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi ditambah dengan perubahan iklim dan perdagangan bebas dunia.
Kondisi global tersebut berpengaruh terhadap penerapan dan pengawasan K3. Tempat kerja, kini tak lagi melulu berupa kantor, pabrik, atau proyek konstruksi.
Pakar K3 Indonesia, Dr. Ir Rudiyanto, Dip. SM, MIRSM., MBA mengatakan setidaknya ada 9 tantangan K3 saat ini dan di masa mendatang.
“Perubahan organisasi, perubahan teknologi, perubahan kondisi tempat kerja, perubahan format kerja. Lalu, perubahan konsep ergonomik dan interaksi, perubahan kondisi psikologis, perubahan hubungan kerja, pandemi, dan perubahan iklim,” kata Rudiyanto saat menjadi pembicara kunci dalam webinar Visiting Proffesor yang dihelat Improvement, Sabtu (22/2/2025).
Kesembilan perubahan yang saat ini terjadi tersebut, akan melahirkan risiko-risiko baru.
Mantan Dirut PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) dua periode ini mencontohkan perubahan dalam pola hubungan kerja.
“Digitalisasi telah mendorong bertambahnya jumlah pekerja informal. Saat ini pekerja informal melibatkan lebih dari 70 persen populasi pekerja yang ada,” kata Rudiyanto.
Mayoritas pekerja informal tidak terdaftar dan terproteksi sesuai undang-undang ketenagakerjaan.
Perdagangan bebas telah berimplikasi pada meningkatnya pekerja migran di Indonesia. Perbedaan bahasa dan budaya, akan berimplikasi serius terhadap pekerjaan yang dilakukannya.
“Pekerja migran mulai meningkat karena motif ekonomi dan ekspansif dalam mencari pekerjaan. Pemahaman yang tidak terlalu baik karena masalah bahasa dan kemampuan yang minim,” katanya.
Ia juga menyoroti soal perilaku keselamatan para pekerja muda yang dinilainya kurang. Data ILO menyebutkan bahwa kecelakaan kerja dalam beberapa tahun belakangan ini didominasi pekerja muda.
Pola Pencegahan Baru Komprehensif
“Pola pencegahan baru diperlukan untuk menghadapi aneka risiko baru yang akan muncul. Pendekatan secara komprehensif oleh pemerintah, organisasi pekerja, pengusahaserta praktisi, akademisi dan peneliti, diperlukan untuk menghadapi tantangan risiko yang muncul,” ujarnya.
Rudiyanto menyarankan agar segera dilakukan pengembangan perilaku keselamatan. Upaya ini meliputi beberapa langkah.
Antara lain menjadikan perspektif K3 sebagai bagian dan cara sikap, tindak tanduk dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
“Lalu, membiasakan sejak usia dini, memahami indikasi bahaya dan risiko, dan menjadi norma dalam kehidupan bermasyarakat,” pungkasnya. (Hasanuddin)