InfrastructureQHSSESustainability

Gagal Konstruksi, 54 Santri Ponpes Al Khoziny Meregang Nyawa

Pekerjaan pengecoran dilakukan para santri yang terkena hukuman. Akibatnya bangunan ambruk dan menimpa para santri yang tengah melakukan ibadah shalat Ashar.

SIDOARJO, Improvement – Memasuki hari ke-8, korban tewas akibat robohnya bangunan Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, terus bertambah.

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Senin (6/10/2025), total korban tewas mencapai 54 orang. Jumlah tersebut menjadikan insiden mushala runtuh ini sebagai insiden dengan jumlah korban tertinggi sepanjang tahun ini.

Deputi III Bidang Penanganan Darurat BNPB, Mayjen Budi Irawan, menyampaikan bahwa jumlah korban tersebut merupakan akumulasi dari temuan tujuh jenazah baru yang ditemukan pada Minggu (5/10/2025) dan Senin pagi.

Sementara itu, 13 orang masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan.

“Telah ditemukan 7 jenazah lagi. Sehingga diperkirakan 13 korban yang kita cari di lokasi runtuhnya musala di pondok pesantren di Sidoarjo ini. Total dari korban ada 154 orang. Yang selamat ada 104 orang, kemudian yang meninggal 54,” ujar Budi dalam konferensi pers di Gedung Kemenkes RI, Jakarta Selatan, sebagaimana dilansir dari laman tribunnews.com.

Insiden terjadi saat para santri sedang melaksanakan salat Asar di dalam mushala.

Santri Terlibat Pengecoran

Rizki Ramadhan (19), salah satu santri yang selamat, mengungkapkan bahwa saat kejadian ia sedang berada di atas bangunan. Ia mengaku ikut melakukan pengecoran bersama pekerja lain.

“Saya tidak tahu persis siapa saja yang tertimpa bangunan, soalnya waktu itu saya berada di atas ikut kerja,” ujar Rizki.

“Anak-anak di musala sedang salat Asar, tiba-tiba bangunannya ambruk,” katanya.

Rizki dan beberapa santri lainnya sempat terlibat dalam proses pembangunan lantai atas mushala.

Pengasuh Ponpes Al Khoziny, Abdul Salam Mujib, menyebut bahwa mushala tersebut baru berdiri sekitar 9–10 bulan sejak awal pengerjaan.

Bangunan terdiri dari tiga lantai, dan dek atas disebut belum menggunakan genteng, melainkan langsung ditutup dengan cor beton.

“Sudah lama, sudah 9 sampai 10 bulan. Baru tiga dek terakhir jadi, enggak pakai genteng, langsung dek,” kata Abdul Salam.

Gagal Konstruksi

Fakta ini memicu sorotan publik karena keterlibatan santri dalam pekerjaan konstruksi yang seharusnya ditangani tenaga profesional.

Menurut beberapa sumber, santri yang tidak mengikuti kegiatan pondok diduga diberi tugas pengecoran sebagai bentuk hukuman.

Hal ini menambah kompleksitas tragedi yang terjadi, karena menyangkut aspek keselamatan dan perlindungan terhadap santri.

BNPB sebelumnya merilis penyebab robohnya mushala sebagai akibat dari kegagalan teknologi konstruksi.

Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, menegaskan pentingnya penerapan standar keselamatan bangunan secara ketat.

“Robohnya mushala karena kegagalan teknologi. Masyarakat dan pengelola bangunan bertingkat diimbau untuk memastikan pengawasan teknis pembangunan agar kejadian serupa dapat dicegah di masa mendatang,” ujarnya.

Tragedi ini bahkan disebut lebih mematikan dibanding sejumlah bencana alam besar yang terjadi sepanjang tahun 2025, seperti banjir bandang di Bali dan Nagekeo, NTT.

Tim gabungan dari Basarnas, TNI, dan relawan lokal terus melakukan pencarian terhadap korban yang masih tertimbun. Budi Irawan menyebut bahwa proses evakuasi ditargetkan selesai pada hari yang sama.

“Diharapkan pada hari ini kita akan selesai evakuasi dari yang diperkirakan tinggal 13 orang,” jelasnya.

Sementara itu, keluarga korban dan masyarakat sekitar terus memantau perkembangan di lokasi kejadian. (Hasanuddin)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button