
Demi Perbaiki Sekolah, Arkeolog UI Mengayuh Sepeda Sejauh 2.500 Km
Ia rela bermandikan keringat dalam kayuhan sepeda sejauh 2.500 km. Tujuannya satu: memperbaiki sekolah di Lembata, NTT.
JAKARTA, Improvement – Tak ada keriuhan. Apalagi seremonial gunting pita plus gemuruh tepuk tangan yang menyertainya.
Dalam hening dan hanya disaksikan beberapa rekannya, dari kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Dody Johanjaya mulai mengayuh sepedanya, Sabtu (31/5/2025) subuh. Seorang diri.
‘Ride for Lembata: Solidaritas untuk membantu pendidikan anak-anak di Lembata.’ Pagi itu, Arkeolog UI ini memulai perjalanan epiknya; bersepeda dari Jakarta ke Lembata di Nusa Tenggara Timur (NTT). Jaraknya sekitar 2.500 km.
“Alhamdulillah, finish day 1, Jakarta-Brebes, 276 km,” tulisnya di sebuah WAG. Jarak sejauh itu, ia tempuh selama 10 jam 22 menit. Targetnya, perjalanan bersepeda selama 20 hari untuk tiba di Lembata.
Rute yang akan dilaluinya; Jakarta-Banyuwangi-Bali-Labuan Bajo-Lembata. Hari kedua, dari Brebes ia menuju Yogyakarta melintasi Bumiayu, Kebumen, Purworejo. Jaraknya 280 km, yang ia tempuh dalam waktu 11 jam 20 menit.

Dua hari mengayuh sepeda, ia sudah menempuh jarak sejauh 556 km. Setiap kayuhan rodanya adalah menggalang dana untuk merenovasi sebuah madrasah di Desa Wowong, Lembata. Sekolah itu sudah reyot, tetapi anak-anak di Lembata tetap antusias menimba ilmu.
Aksi kemanusiaan ini bermula ketika pada 2022, ia membawa sepeda lipatnya ke Lembata. Di sana, ia menyaksikan langsung ketimpangan yang memilukan: anak-anak bersekolah tanpa alas kaki, bangunan yang reyot, dan keterbatasan fasilitas.
“Saya nggak bisa diam. Harus ada yang saya lakukan,” katanya.
Inspirasi datang saat mengawal petualangan Devi, pegiat Run for Equality. Tahun lalu, Devi bersepeda untuk air bersih di NTT dengan rute dari Jakarta ke Bali sejauh 1.186 km.
Dody lantas berpikir, “Kenapa hal serupa nggak saya lakukan untuk pendidikan di Lembata?” Pikiran itu akhirnya mengkristal menjadi proyek sosial pertamanya yang berkolaborasi dengan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia).
Kisah Lembata
Di pulau Lembata, NTT, banyak anak lulusan SD yang nasib pendidikannya terancam. Tidak ada sekolah menengah di desa mereka, dan jarak yang jauh membuat orang tua ragu melepas anaknya pergi.
Tahun lalu, warga sebuah desa di Lembata memutuskan untuk membangun sekolah secara swadaya. Mereka mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs), setara SMP. Bangunannya sederhana: bambu untuk dinding, papan bekas untuk meja, dan atap yang tak selalu mampu menahan terik matahari atau hujan.

Tapi dari “sekolah darurat” ini, harapan tumbuh. Awalnya, hanya anak-anak Desa Wowong yang bersekolah di sini. Kini, murid-murid dari desa tetangga mulai berdatangan.
Setiap pagi, puluhan anak-anak berjalan kaki melintasi bukit. Peluh yang bercucuran tak mengendurkan semangat untuk menimba ilmu. Sorot mata mereka tetap berbinar demi menyambut harapan yang lebih baik di masa depan.
Namun, masalah baru muncul: ruangan tak lagi cukup. Beberapa kelas harus bergantian menggunakan ruangan yang sama. Saat hujan, pembelajaran sering terhenti karena atap bocor.
Jubir Latif, Kepala Desa Wowong, menatap bangunan sekolah sederhana itu. Dinding bambu yang mulai lapuk, atap yang bocor ketika hujan, dan ruang kelas sempit yang harus menampung puluhan anak.
Tapi di mata pria paruh baya itu, bangunan darurat ini adalah benteng terakhir bagi peningkatan pendidikan anak-anak Lembata.
“Kalau kami tidak mendirikan MTs ini, anak-anak di sini akan putus sekolah. Mereka harus berjalan puluhan kilometer ke desa lain, atau berhenti belajar sama sekali,” ujarnya dengan nada bergetar.
Latihan Ketat
Hari ini, Selasa (3/6/2025), mantan produser ‘Jejak Petualang’ ini kembali mengayuh sepeda dengan rute Yogyakarta-Mojokerto. Jaraknya sekitar 300 km.
Hari masih gelap, ketika ia meninggalkan sebuah penginapan sederhana di ‘Kota Gudeg.’ Lagi-lagi tak ada seremonial. Hanya seorang rekan yang melepas kepergiannya untuk menuntaskan misi luhurnya.
Dalam keheningan, ia membelah jalanan menuju sejumlah kota yang dilaluinya. Benar-benar seorang diri, tanpa pengawalan.
Tak banyak perbekalan yang dibawa, untuk mengurangi beban. Benar-benar minimalis, meski ia harus bermandikan keringat setiap mengayuhkan sepedanya lebih 200 km dalam sehari.
Baginya, senyum anak-anak Lembata, adalah bahan bakar terbesarnya. Target penggalangan dana Rp100 juta demi perbaikan madrasah di Lembata masih jauh dari harapan. “Baru tercapai 25 persennya,” katanya.
“Saya tidak berharap banyak. Yang penting saya sudah berusaha, dan semoga usaha ini bisa berdampak. Pihak sekolah nanti yang akan mengelola dana yang saya kumpulkan itu. Tugas saya adalah bergerak, dan itulah yang saya lakukan saat ini,” sambung Dody.
Untuk menjalankan aksi kemanusiaannya ini, Dody telah melakukan persiapan yang ketat. Sejak beberapa bulan lalu, ia latihan secara intens. Menempuh jarak lebih 150 km setiap harinya dengan kondisi medan yang beraneka rupa.

Misalnya saja, dari Tebet, ia mengayuh sepeda ke Cianjur melalui Puncak. Dari sini ia melaju ke Ciawi, Bogor melewati Sukabumi. Dan, dari Ciawi kembali ke Tebet. Semuanya ia tempuh dalam sehari perjalanan.
Atau ia bersepeda ke kota kelahirannya, Cirebon. Atau pula ke Bandung. Tak kenal lelah. Bulan Ramadhan pun ia tetap latihan. Suatu hari, ia membagikan fotonya sedang berbuka puasa di alun-alun Sukabumi. Lain hari, ia berbuka puasa di kota ‘Paris van Java’ Bandung.
Padahal, usianya tak lagi muda. Tahun ini, ketika tengah bersepeda sejauh 2.500 km, usianya sudah menapaki angka 57 tahun.
Pria kelahiran ‘Kota Udang’ Cirebon ini memang dikenal sebagai petualang sejati. Ia, misalnya, pernah menaklukkan gunung Elbrus (5.642 mdpl), gunung tertinggi di Rusia dan Eropa.
Begitu banyak catatan petualangan Dody yang saat kuliah bergabung dengan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia ini.
Namun ia pernah berduka amat dalam ketika salah satu kru ‘Jejak Petualang` hilang di perairan Papua pada 6 Juni 2006 dalam sebuah ekspedisi. Dody bersama tiga kru ‘Jejak Petualang’ lainnya ditemukan selamat di sebuah pulau terpencil, empat hari setelah perahu kayunya terbalik dihantam ombak. (Hasanuddin)