QHSSE

Benarkah Lift Tidak Boleh Digunakan Ketika Kebakaran?

Lift nyatanya bisa digunakan ketika terjadi kebakaran. Asal kabel-kabelnya dibungkus sedemikian rupa.

JAKARTA, Improvement – Kebakaran merupakan peristiwa yang tidak diinginkan siapapun. Kebakaran hanya akan menyisakan duka berkepanjangan bagi para korban, yang tak saja kehilangan harta benda yang sudah dikumpulkannya selama tahunan tetapi juga nyawa.

Tapi, kebakaran selalu terjadi. Bagi masyarakat kota Jakarta, kebakaran bahkan telah menjadi bagian keseharian. Setiap hari, ada saja bangunan yang menjadi korban amukan Si Jago Merah.

Kebakaran tak melulu meluluhlantakan pemukiman, tapi lidah api juga menjilati gedung-gedung bahkan gedung terkategori pencakar langit sekalipun tak luput dari sentuhan api.

Gedung-gedung itu, yang jumlahnya ribuan di kota Jakarta misalnya, sudah pasti dilengkapi dengan moda transportasi vertikal, lift. Jika terjadi kebakaran, ada larangan untuk menggunakan lift, in case of fire, do not use elevators, use stairways.

A Fire Safety Sign/Poster Advising People to Use the Stairs and not the Elevator; Emergency response and survival advice.

Benarkah lift tidak boleh digunakan ketika terjadi kebakaran?

Pakar keselamatan kebakaran dari ITB, Prof Dr Ir Suprapto, MSc, FPE, APU mengatakan bahwa lift justru harus digunakan ketika terjadi kebakaran. Sebab, pada gedung-gedung tinggi, lift menjadi sarana transportasi untuk melakukan evakuasi para korban.

“Kalau gedung semakin tinggi, sesungguhnya jutsru liftlah sebagai sarana penunjang yang paling penting untuk melakukan evakuasi jika terjadi kebakaran. Hanya saja Indonesia dan banyak negara di dunia harus belajar ke Prancis,” kata Prof Suprapto saat dihubungi Improvement, Rabu (8/1/2025).

PROF DR IR SUPRAPTO, MSC, PFE, APU

Kenapa Prancis? “Prancis memang unik. Di tempat lain lift tidak boleh dipakai untuk evakuasi, tapi di Prancis dipakai karena pekerjaan (evakuasi korban kebakaran) bisa lebih cepat. Tapi kabelnya benar-benar dibungkus sedemikian rupa. Ini tantangan buat kita, gedung-gedung tinggi kalau menurut pemerintah daerah tidak boleh pakai lift,” katanya.

Menurut Prof Suprapto, Prancis sudah mengaturnya dalam aturan semacam SLF (Sertifikat Laik Fungsi) di Indonesia. “Kita harus belajar kepada mereka.”

“Ini tantangan bagi ahli—ahli instalasi mesin atau ahli elektro. Hal itu mengenai banyak hal, terutama di gedung tinggi ada area refusi untuk pengungsian sementara, karena tak mungkin turun dari atas ke bawah. Kalau melalui tangga kan lama. Makanya ada area-area pengungsian sementara terutama untuk kaum difabel. Oleh karenanya, mengingat pentingnya masalah ini dicarikan jalan keluarnya,” sambungnya.

Mengenai seberapa penting sistem manajemen memadukan konstruksi dengan proteksi kebakaran oleh ahli, seharusnya ada kerja sama komunikasi kolaborasi. Di bidang konstruksi ada structure fire safety dan mestinya orang-orang teknik sipil bisa mempelajari kebakaran yang penanganannya multidisiplin (terdiri dari ahli professional).

“Jadi orang teknik mesin mengklaim ada di sprinkelnya, orang elektro mengklaim ada detektornya, orang sipil mengklaim fire resistantnya, orang arsitektur mengklaim ada fasadnya. Oleh karenanya sama-samalah menanganinya. Kalau di konsultan digabung di bawah manajemen konstruksi. Jadi ada yang menyatukan berbagai disiplin ilmunya. Kita tahu ada di fire safety management yang kalau tidak salah ada juga asosiasinya. Di Perda DKI No 183 pun ada fire safety management,” pungkasnya. (Hasanuddin)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button