
Arkeolog: Kebakaran Bisa Lenyapkan Informasi pada Cagar Budaya
Pada setiap cagar budaya, baik berupa benda, bangunan, situs, maupun kawasan, terdapat informasi budaya tak ternilai.
JAKARTA, Improvement – Kasus kebakaran yang menimpa museum dan cagar budaya, begitu sering terjadi.
Dua unit Rumah Gadang di Sumatera Barat, misalnya, ludes terbakar pada 31 Agustus 2016 dan 23 Februari 2020.
Lalu, Museum Bahari di Jakarta Utara terbakar hebat pada 16 Januari 2018. Teranyar, kebakaran melumat sebagian Gedung A Museum Nasional di Jakarta pada 16 September 2023.
Kala itu, sebanyak 902 koleksi Museum Nasional terdampak kebakaran. Sebanyak 231 di antaranya dari galeri keramik, 49 dari galeri peradaban, 92 dari galeri perunggu, 225 dari galeri prasejarah, 180 dari galeri terakota, dan 125 dari ruang kebudayaan Indonesia.
Salah satu koleksi yang rusak parah akibat kebakaran adalah nekara perunggu. Koleksi yang berasal dari kebudayaan Dongson (1000 SM – abad 1 SM) ini mengalami kerusakan klasifikasi tinggi.
Kebakaran bangunan cagar budaya dan museum, tak bisa diukur dan ditakar secara rupiah. Kebakaran sangat berpotensi melenyapkan nilai penting yang terkandung dalam setiap cagar budaya.
Informasi Budaya
“Kebakaran bukan sekadar merusak dan menghancurkan cagar budaya. Lebih dari itu, segala informasi budaya yang terkandung dalam setiap cagar budaya akan musnah,” kata Junus Satrio Atmodjo, arkeolog senior, saat menjadi pemateri dalam seminar “K3 Api Cagar Budaya” yang diselenggarakan Perisai Budaya Nusantara (PBN) di Auditorium Museum Bank Indonesia (MUBI) Jakarta, Kamis (22/5/2025) silam.
Informasi dimaksud adalah berbagai hal terkait aktivitas manusia masa lalu yang terdapat dalam setiap cagar budaya.
“Mulai dari pemilihan bahan, cara pembuatan, corak hiasan, hingga penggunaan. Semua informasi budaya masa lalu ini akan hilang seiring rusak atau bahkan musnahnya cagar budaya karena kebakaran,” kata mantan Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Nasional ini.
Dikatakan, kebakaran merupakan salah satu bencana yang kerap dialami cagar budaya. Bencana lainnya adalah bencana alam dan bencana sosial.
Mantan ketua Perkumpulan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Pusat ini mencontohkan, bagaimana para arekolog harus bekerja keras ketika terjadi gempa bumi. Saat itu, ada bagian dinding dari Candi Prambanan yang mengalami kerusakan saat peristiwa gempa bumi melanda Yogyakarta pada 16 Januari 2006.
“Batu-batu candi itu jatuh dan ada yang mengalami pecah beberapa bagian. Para arkeolog harus bekerja keras, mengembalikan batu-batu tersebut ke posisinya semula,” katanya.
Junus kembali mencontohkan bagaimana abu vulkanik menyelimuti candi Borobudur ketika Gunung Merapi mengalami erupsi pada 10 November 2010. “Batu andesit di candi Borobudur hanya ada pada arca atau patung-patung Buddha. Selebihnya batu berpori. Bayangkan, partikel-partikel abu vulkanik itu masuk dan memenuhi candi Borobududur,” pungkasnya.
Keamanan dan Keselamatan Koleksi Museum
Kresno Yulianto, arkeolog senior lainnya menambahkan, guna melindungi dan melestarikan cagar budaya, ada dua aspek penting yang harus diperhatikan. Yaitu keamanan dan keselamatan.
“Keamanan dan keselamatan koleksi museum merupakan upaya pengendalian risiko dalam tata kelola permuseuman,” kata Kresno Yulianto.

Aspek keamanan koleksi museum, katanya, meliputi berbagai aspek. Yaitu pelindungan dari ancaman eksternal, ancaman bersifat fisik, ancaman disengaja, dan cakupan area yang luas.
Sedangkan aspek keselamatan koleksi museum meliputi pelindungan dari ancaman internal, ancaman bersifat non-fisik. Lalu, ancaman tidak disengaja atau kelalaian, dan cakupan area lebih kecil.
“Kebakaran termasuk peristiwa yang mengancam dari internal dan akibat kelalaian. Banyak dari kebakaran bangunan cagar budaya yang disebabkan oleh korsleting listrik,” katanya.
Dampak kebakaran terhadap koleksi museum, katanya, sungguh luar biasa. Mulai dari terbentuknya noda hitam, perubahan bentuk, rusak sebagian, hingga rusak seluruhnya.
Selain Junus dan Kresno, seminar menghadirkan para pembicara kredibel di bidangnya. Yaitu Prof Dr Ir Suprapto dari ITB, Prof Dra Fatma Lestari dari UI, Kimron Manik dari Kementerian PU. Lalu, Budi Haryono (Dinas Gulkarmat DKI) dan Sugiarto Goenawan (ahli kimia). (Hasanuddin)