
Korban Jiwa Capai 67 Santri, Ketum INKINDO: Bangunan Publik (Ponpes) Tak Berizin Perlu Dievaluasi
Ponpes selama ini dianggap wilayah privat sehingga acap luput dari pengawasan. Inkindo memiliki program Inkindo for Nation, yang menghadirkan jasa konsultansi bebas biaya.
JAKARTA, Improvement – Tragedi maut Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, merupakan kasus mengerikan.
Peristiwa berupa ambruknya bangunan yang tengah dikerjakan itu mengakibatkan setidaknya 67 santri meregang nyawa, termasuk delapan bagian tubuh (body part).
Penelusuran petugas mengungkap fakta bahwa pekerjaan bangunan tersebut belum mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Pekerjaan konstruksi bangunan, khususnya pengecoran, bahkan melibatkan santri.
Fakta lebih mengerikan, diungkap Menteri Pekerja Umum (PU) Dody Hanggodo. Hanya 51 dari sekitar 42 ribu ponpes di Indonesia atau 0,12% yang mengantongi izin PBG.
Hampir semua ponpes yang berdiri dan beroperasi di Indonesia tak mengantongi izin sehingga tak diketahui bagaimana kualitas bangunannya.
Padahal, Ponpes terkategori bangunan publik sebab dihuni oleh banyak santri. Ponpes bukan bangunan privat sebagaimana anggapan masyarakat selama ini.
Ketua Umum Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (Inkindo), Erie Heryadi, menegaskan bahwa seluruh bangunan publik, termasuk Ponpes, yang tidak memiliki PBG perlu dievaluasi menyeluruh.
“Kami sangat setuju dengan pendapat ini, bahwa seluruh bangunan yang tidak memiliki izin harus dievaluasi dulu kelayakannya. Hal ini untuknya mencegah terjadi kembali korban meninggal akibat tertimpa bangunan yang runtuh,” kata Erie sebagaimana dilansir dari laman Kompas.com, Selasa (7/10/2025).
Bukan Area Privat
Erie menjelaskan dua faktor utama yang membuat Ponpes rentan terhadap kegagalan struktural.
Banyak pengelola Ponpes merasa tidak memerlukan PBG ketika membangun gedung di dalam kompleknya.
Mereka beranggapan komplek Ponpes adalah “daerah privat,” dan bukan wilayah publik.
“Padahal, mereka lupa bahwa gedung yang dibangun akan digunakan oleh publik, yaitu ribuan santri dari berbagai daerah di Indonesia,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah daerah (Pemda) kerap tidak melakukan pemeriksaan atas perizinan pembangunan di dalam komplek Ponpes.
“Ini diduga terjadi karena adanya rasa segan dan enggan terhadap para ulama yang memiliki dan mengelola Ponpes tersebut. Akibatnya, pengawasan dan penegakan regulasi menjadi tumpul.”
Erie menduga ada kekhawatiran utama dari Ponpes yakni mahalnya biaya menggunakan jasa konsultan profesional.
“Ponpes merasa tidak memiliki dana yang cukup apabila harus menggunakan jasa konsultan profesional dalam perencanaan dan perancangan,” kata Erie.
Padahal, fakta di lapangan membuktikan sebaliknya. Erie menyebut bahwa jasa konsultan arsitek di Indonesia relatif murah dan sering dikemas dalam bentuk design n build alias rancang bangun.
“Konsumen mendapatkan kepastian terhadap kenyamanan, keselamatan, dan estetika bangunan,” imbuhnya.
Lebih jauh, Erie mengungkapkan bahwa untuk proyek-proyek keagamaan dan pendidikan yang bersifat sosial kemasyarakatan, jasa konsultan profesional seringkali memberikan keringanan biaya yang signifikan.
Inkindo For Nation
Inkindo menawarkan solusi tuntas yakni sebuah program pengabdian yang menjembatani kesenjangan antara kebutuhan Ponpes dan standar konstruksi aman.
Program tersebut bernama Inkindo for Nation (IFN). “Program IFN merupakan jasa konsultan profesional bebas biaya, karena program tersebut memang didesain untuk pengabdian dari Inkindo kepada Bangsa dan Negara Indonesia,” ungkap Erie.
Inkindo berencana audiensi dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus membuat kesepakatan tertulis dalam Nota Kesepahaman (MoU).
Tujuan MoU ini adalah untuk mempermudah Ponpes yang membutuhkan jasa perencanaan dan perancangan dari konsultan profesional secara bebas biaya.
Langkah ini sejalan dengan desakan bahwa seluruh bangunan yang tidak memiliki izin harus dievaluasi kelayakannya untuk mencegah terulangnya korban jiwa.
Perizinan dan kelayakan bangunan gedung harus taat pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Sertifikat Laik Fungsi (SLF) atas bangunan gedung.
“Tragedi Al Khoziny harus menjadi momentum kebangkitan kesadaran publik untuk memastikan setiap pembangunan memiliki PBG. Dengan adanya program gratis seperti IFN, alasan finansial tidak lagi dapat dijadikan pembenaran atas pengabaian keselamatan,” pungkasnya. (Hasanuddin)