IndividualProfileSustainability

Dicibir dan Dihina Miskin, Margareth Masuk UI Lewat Jalur Prestasi

Ayahnya hanya kuli bangunan di Pulau Rote, NTT. “Miskin, banyak gaya, mau kuliah jauh,” cibir warga.

KUPANG, Improvement – Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Jika Allah sudah berkehendak, maka jadilah ia.

Margareth sudah membuktikan akan kekuasaan Sang Pencipta semesta alam. Gadis asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini diterima di Universitas Indonesia. Persisnya di Fakultas Psikologi.

Ia diterima di kampus ternama di negeri ini melalui jalur prestasi. Namun, ia tak punya ongkos untuk berangkat ke Depok, Jawa Barat, tempat kampus UI berada.

Sang kakak, bekerja ekstra keras. Ia bahkan bekerja hampir 24 jam sehari untuk mencari bekal ongkos bagi Margareth. Tapi hasil kerja keras itu pun, belum lah cukup. Sebab, ongkos dari Pulau Rote ke Depok, sangat lah mahal. Belum lagi biaya hidup Margareth selama di tanah rantau dan lain-lain.

Tapi, sekali lagi, tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Jika Allah sudah berkehendak, maka jadilah ia.

Ia justru dijemput langsung oleh salah seorang dosen senior UI, Sudibyo yang akrab disapa Pak Dibyo. Ia datang bersama influencer, Imam Santoso.

Kisah menyentuh sekaligus inspiratif ini diceritakan Imam Santoso melalui story di akun Instagram miliknya yang dilansir di laman tribunnews.com, Jumat (25/7/2025).

Hampir Putus Asa

Margareth sempat hampir putus asa. Cibiran dan hinaan, datang bertubi-tubi begitu tahu bahwa dirinya diterima di UI.

“Stop mimpi tinggi. Mereka mengatakan itu berulang-ulang kayak gitu,” kata Margareth mengulang ucapan guru dan warga yang mencibirnya.

“Kamu mau ke UI, bayar sekolah aja masih nunggak.”

“Miskin banyak gaya, mau kuliah jauh.”

Margareth mengisahkan hal itu kepada Pak Dibyo yang menyambangi kediaman orangtuanya yang sangat sederhana di Pulau Rote.

Air mata mengalir deras. Pak Dibyo dan Imam Santoso yang mendengar kisah itu pun, turut merasakan kepedihan dan kesedihan Margareth.

Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur),” kata Pak Dibyo singkat.

Suara dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI ini bergetar hebat. Ia mencoba tetap tegar, mendengarkan kisah pilu Margareth dan perjuangannya untuk mengejar mimpinya.

Margaret terus mengusap air matanya, membuat siapa saja di sana ikut merasakan kesedihannya. Sang ayah hanya tertunduk, menahan tangis. Sang ibu, ikut larut dalam kesedihan mendengarkan kisah putrinya.

Jalur Prestasi

Selepas SMA, ia sempat dilanda keraguan ketika akan menentukan pilihan pendidikan lanjutan. Ia sadar bahwa sang ayah hanya lah kuli bangunan di desanya.

Penghasilan sang ayah amat tak seberapa. Biaya sekolahnya saja masih menunggak. Dan, untuk makan sehari-hari saja masih kesulitan.

Tapi Margareth tak putus asa. Tekadnya begitu kuat untuk melanutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, meski cibiran dan hinaan datang silih berganti.

Meski secara ekonomi tergolong keluarga tidak mampu, Margareth terbilang siswa berprestasi di sekolahnya.

Diam-diam, ia mendaftarkan diri ke Fakultas Psikologi UI melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).

“Jadi waktu itu hampir tidak datar SNBP. H-2 penutupan, jam 2 dini hari, baru saya daftar,” kata Margareth.

“Saat itu saya pilih satu, hanya UI saja,” katanya.

Kala itu Margaret merahasiakan keputusannya ikut SNBP UI, termasuk dari orangtuanya sendiri.

“Tidak ada harapan untuk lolos, kalau teman tanya, saya jawab ‘sudah daftar’ saja’, ditanya dimana saya diam saja,” katanya lagi.

“Kalau mama nanya, saya juga diam saja,”

“Enggak ada yang tahu saya daftar SNBP,” imbuhnya.

Ia sengaja hanya memilih satu, sebab mulanya tak yakin bagaimana nanti ia bisa kuliah. Terbayang, berapa besar biaya yang harus disiapkan orangtuanya.

Terbayang, bagaimana kelak orangtua harus membiayai kuliah. Terbayang, bagaimana ia kelak akan hidup jauh dari orangtua dan bagaimana orangtua  membiayainya.

Di hari pengumuman, Margareth terkejut saat mengetahui dirinya dinyatakan diterima di Fakultas Psikologi UI. Kabar menggembirakan ini ia ceritakan kepada orangtuanya.

Orangtua mana yang tidak senang mendengar putrinya diterima di kampus ternama di Indonesia tanpa seleksi?  Orangtua mana yang tidak bahagia?

Membalik Keadaan, Membungkam Cibiran

Namun dibalik kebahagiaan itu, menyembur kegelisahan. Bagaimana Margareth bisa berangkat ke Depok, Jawa Barat? Bagaimana nanti Margareth tinggal di Depok untuk menempuh pendidikan tingginya?

Kabar Margareth diterima kuliah di UI, cepat menyebar. Di kala kebahagiaan itulah, aneka cibiran dan hinaan mendera hebat.

Sang kakak, tak tinggal diam. Demi sang adik, ia bekerja ekstra keras untuk menyediakan ongkosnya ke Depok.

“Kakaknya kerja hampir 24 jam setelah tahu Margaret diterima UI,” tulis  Imam Santoso dalam akun instagramnya.

Ditengah keraguan dan kegelisahan akan biaya, Pak Dibyo datang, menjemput Margareth untuk pergi bersama ke Jakarta dan selanjutnya menuju Depok.

Kini, Margaret membungkam mereka yang sudah mencibir dan menghinanya. Kini, Margareth bisa mengejar mimpinya dan merajut asa, demi masa depan yang lebih baik.

Margareth sudah membuktikan bahwa kemiskinan bukan kendala untuk mengejar mimpi. Margareth sudah meyakinkan semua orang, bahwa prestasi akademik bisa mengubah nasib.

Margaret sudah membuktikan bahwa hanya dengan belajar keras, tekun, rajin, dan tekad yang kuat, ia bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.  Tak ada yang tak mungkin di dunia ini jika Allah sudah berkehendak. (Hasanuddin)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button