
PAPUA, Improvement – Kematian dua pendaki wanita di puncak Cartensz Pyramid, Papua, menyisakan banyak tanya. Utamanya menyangkut standar keselamatan para pendaki.
Benarkah kedua pendaki wanita, yang disebut-sebut sudah berpengalaman tersebut, meninggal karena cuaca buruk? Adakah prosedur keselamatan yang dilanggar?
Mengutip keterangan Kapolres Mimika, Papua, AKBP Billy Hildiarto, kedua pendaki meninggal tersebut adalah Lilie Wijayanti Poegiono (59) dan Elsa Laksono (59).
Keduanya dinyatakan meninggal dunia karena hipotermia, akibat cuaca buruk di Puncak Cartensz Pyramid. Dalam peristiwa itu, tiga pendaki lainnya selamat meski sama-sama terserang hipotermia.
Ketiganya adalah Indira Alaika, Alvin Reggy, dan Saroni. Total pendaki saat insiden terjadi, 20 orang. Terdiri atas 5 pemandu, 7 pendaki WNI, 6 pendaki WNA, dan dua pendaki Taman Nasional Lorenz.
Kronologi
Bermula ketika pada Rabu (26/2/2025) pagi, rombongan berangkat dari Bandara Moses Kilangin Timika menuju Base Camp Yellow Valley. Mereka menggunakan helikopter.
Yaitu Lilie Wijayantie, Elsa Laksono, Saroni, dan Lody Hidayanto, Fiersa Besari, Furki Rahmi Syahroni, dan Indira Alaika. Setibanya di sana, mereka melakukan kegiatan aklimitasi selama dua hari.
Selain itu, mereka juga melakukan latihan teknis seperti memanjat (ascending) dan turun (descending) menggunakan tali. Medan puncak Carstensz memang berbentuk tebing sempit dan terjal. Carstensz adalah tebing yang menjulang sekitar 600 meter.
Pada Jumat (28/2/2025) pukul 04.00 WIT, rombongan pendaki berjumlah 20 orang memulai perjalanan menuju puncak.
Pukul 10.51 WIT, Tim Pendaki melakukan penyeberangan di jembatan Tyrollean. Lalu, pukul 14.00 WIT pendaki terakhir mencapai Puncak Cartenz (karena HT low sehingga tidak ada komunikasi).
Pukul 19.30 WIT Ruslan dan Abdullah yang sudah turun lebih awal menyampaikan bahwa semua pendaki sudah mencapai puncak. Dalam perjalanan turun, mendadak terjadi hujan salju, hujan deras, dan angin kencang.
Saat itulah diketahui ada lima pendaki terjebak. Yaitu Indira, Alvin Reggy, Saroni, Lilie, dan Elsa. Upaya pertolongan mulai dilakukan. Cuaca buruk menjadi kendala.
Pukul 21.48 WIT, Yustinus Sondegau (pemandu lokal) berhasil mencapai summit ridge (Teras Besar), lokasi korban Indira, Alvin, dan Saroni. Kepada ketiganya diberikan makanan dan peralatan darurat untuk menghangatkan badan.
Pukul 22.33 WIT guide Nepal Dawa Gyalje Sherpa naik untuk memberikan pertolongan terhadap Lile dan Elsa yang terjebak di teras 2. Namun setibanya di sana, kedua pendaki wanita ini sudah dalam kondisi kritis.
Pukul 22.48 WIT pendaki atas nama Fiersa dan Furky tiba di Basecamp.
Pukul 00.07 WIT Poxy dan Damar (pemandu) kembali mencoba naik ke teras dua untuk memberikan bantuan kepada korban. Namun korban Lilie Wijayanti Poegiono dan Elsa Laksono dinyatakan telah meninggal dunia.

Benarkah karena Alam dan Usia?
Laksmi Prasvita, Ketua Zerosixer Club mencoba menganalisa kejadian yang menimpa Lilie dan Elsa. Peristiwa ini terjadi bukan karena faktor usia. Sebab pendaki tertua yang menggapai puncak Everest berusia 80 tahun.
Ia juga menepis anggapan bahwa faktor cuaca (alam) yang jadi penyebab lainnya. Ketua Klub Pendaki Gunung Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini lebih menyoroti faktor manajemen waktu dan ketegasan pemandu.
“Di Carstensz sudah ada kesepakatan umum bahwa pendakian dilakukan dini hari agar mencapai puncak pukul 9-12 siang. Hujan deras biasanya turun sekitar pukul 13-14,” kata Laksmi sebagaimana keterangannya yang beredar di WAG.
Turun dari puncak, katanya, lebih berat dan memakan waktu lebih lama dibanding naik, sehingga batas waktu pukul 14:00 harus dihormati.
“Jika pendaki belum mencapai puncak pada waktu tersebut, summit atau tidak summit, mereka harus turun,” kata Laksmi.
Dari kronologi kejadian yang ia terima, pendakian dimulai pukul 04.00. Namun pendaki terakhir yang mencapai puncak pukul 14.00 WIT.
Seorang pemandu gunung yang baik bukanlah yang selalu membawa timnya ke puncak. Tapi yang tahu kapan harus berkata “tidak” demi keselamatan.
Namun, dalam praktiknya, banyak pemandu gunung justru tertekan oleh tuntutan operator atau klien yang ingin memaksakan pendakian.
Minim Fasilitas Keselamatan
Sebagai kawasan konservasi, Taman Nasional Lorentz seharusnya memiliki otoritas dalam menutup akses ke puncak saat cuaca ekstrem.
Regulasi semacam ini diterapkan di banyak gunung dunia. Termasuk di Jepang dan Amerika Serikat, di mana pendakian bisa ditutup jika risiko terlalu tinggi.
Selain itu, pemerintah perlu menyediakan fasilitas pendukung yang memadai.
“Carstensz adalah bagian dari Seven Summits Dunia, tetapi fasilitas keselamatannya masih sangat minim. Tidak ada shelter darurat, tidak ada sistem early warning untuk badai, dan minimnya titik evakuasi membuat penyelamatan sulit dilakukan,” katanya.
Jika Indonesia ingin Carstensz tetap menjadi destinasi pendakian kelas dunia, standar keselamatannya harus setara dengan gunung-gunung elite lainnya.
Pendakian ke Carstensz bukan sekadar tantangan fisik bagi para pendaki, tetapi juga ujian bagi seluruh sistem yang mengelolanya. Jika standar keselamatan tidak segera ditingkatkan, maka kecelakaan akan terus berulang.
Ini bukan soal “apakah” tragedi akan terjadi lagi, tapi hanya soal “kapan”.
“Keselamatan harus lebih penting daripada bisnis. Operator, guide, dan pemerintah harus menjalankan regulasi ketat seperti yang diterapkan di gunung-gunung dunia lainnya. Jika tidak, maka Carstensz akan tetap menjadi gunung dengan risiko tinggi dan kehilangan daya tariknya sebagai salah satu puncak impian para pendaki dunia,” pungkasnya. (Hasanuddin)