
2040, Jakarta Bebas Kemacetan
Kota Jakarta diperkirakan akan terbebas dari kemacetan lalu lintas pada tahun 2040.
JAKARTA, Improvement – Kota Jakarta identik dengan macet. Kemacetan lalu lintas yang terjadi, sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya.
Berbagai kajian sebagai dampak dari kamacetan lalu lintas yang terjadi di Jakarta, sudah banyak dilakukan. Mulai kerugian ekonomi, polusi, hingga beragam kajian lainnya. Toh, kemacetan lalu lintas tetap saja terjadi.
Dan, kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta mencapai Rp100 triliun setiap tahunnya atau Rp274 miliar/hari. Terdiri atas potensi kerugian kesehatan dan waktu yang hilang senilai Rp60 triliun dan Rp40 triliun yang merupakan kerugian akibat operasional kendaraan dan biaya bahan bakar yang terbuang.
Pemerintah, tentu saja, tidak tinggal diam. Sejak dekade 1980-an, pemerintah sudah menggagas Pola Transportasi Makro (PTM) berbasis transportasi massal (Mass Rapid Transportation). PTM dibuat dengan tujuan utama mengurai kemacetan dengan cara mengurangi penggunaan pribadi di jalan raya sekaligus memindahkan para pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
Gagasan itu baru terlealisasi pada Januari 2004 ketika Gubernur DKI Jakarta yang saat itu dijabat Sutiyoso meresmikan pengoperasian Busway. PTM yang dikembangkan di era Sutiyoso berbasis jalan raya dan rel dan Busway merupakan PTM berbasis jalan raya.
Sedangkan PTM berbasis rel yang dikembangkan adalah MRT dan Monorel (Light Rail Transit/LRT). Proyek monorel sempat dikerjakan. Tiang pancang sudah didirikan di Jl Asia Afrika dan Jl HR Rasuna Said sejak 2004. Tapi kemudian mangkrak.
Kini, PTM berbasis rel sudah direalisasikan dengan beroperasinya MRT (Lebak Bulus-Bundaran HI), LRT Jakarta, dan LRT Jabodebek (Pemerintah Pusat) plus pembenahan Commuter Line (dulu KRL) Jabodetabek di masa Ignasius Jonan. Koridor Busway pun kini sudah diperluas ke seluruh wilayah Jakarta dengan 14 koridor, yang terkoneksi satu sama lain.
Toh, Jakarta tetap saja macet. Para pengendara pribadi tak banyak yang mau beralih ke angkutan umum sebagaimana diharapkan, meski pemerintah sudah membenahi fasilitas angkutan umum di Jakarta. Termasuk angkutan kota (angkot), yang memasuki kantung-kantung pemukiman warga dengan pelayanan yang kini jauh lebih nyaman, aman, dan manusiawi.
Transit Oriented Development
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Dr Ir Haris Muhammadun, ATD, MM, IPU menjelaskan bahwa kemacetan lalu lintas yang terjadi di kota Jakarta masih terjadi meski kebijakan push and pull sudah dilaksanakan pemerinah.
“Push and pull policy merupakan strategi untuk mengatasi masalah transportasi di perkotaan, yaitu dengan mendorong masyarakat untuk menggunakan angkutan umum (pull) dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi (push),” kata Haris.

Membenahi transportasi di Jakarta, katanya, tidak bisa dilakukan oleh Jakarta sendiri, tapi juga harus melibatkan wilayah lainnya yaitu Bodetabek, sebab kota Jakarta didatangi jutaan orang setiap harinya, khususnya di pagi hingga sore hari. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di Jakarta tetapi tinggal di kawasan Bodetabek.
Jalan-jalan di kota Jakarta setiap harinya dipadati oleh mereka yang tinggal di kawasan Bodetabek, baik dari arah Selatan, Barat, maupun Timur. Jakarta tak mampu lagi menahan beban lalu lintasnya. Mau tambah panjang ruas jalan, sudah sulit karena keterbatasan lahan dan biaya yang harus dikeluarkan sangatlah mahal.
“Kita harus mengubah paradigma, dari Car Oriented Development (COD) menjadi Transit Oriented Development (TOD). Dimulai di tahun 2004 ketika Busway diluncurkan, kemudian MRT, LRT Jakarta, dan LRT Jabodebek. Untuk MRT yang sudah dioperasikan sejak 2019 diharapkan tahun 2029 sudah bisa melayani hingga Kota dan akan diteruskan hingga Ancol, untuk Selatan-Utara. Nanti untuk Barat-Timur, bekerjasama dengan Pemerintah Pusat, akan membentang dari Balaraja hingga Cikarang,” katanya.
Untuk LRT Jakarta yang dioperasikan sejak 1 Desember 2019, dari semula 5,8 km dari Pegangsaan 2 hingga Velodrome sekarang dibangun lagi hingga Manggarai. DTKJ secara khusus memberikan rekomendasi agar trayek LRT Jakarta diperpanjang hingga Dukuh Atas supaya terintegrasi dengan LRT Jabodebek, Busway, MRT, dan commuter line, dan kereta bandara yang juga akan melintasi kawasan Dukuh Atas.
Menurut Haris yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Bidang Kehumasan dan Sistem Informasi Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) ini, integrasi antarmoda angkutan umum ini merupakan intervensi agar kedepan kota Jakarta tidak macet lagi.
Dari apa yang sudah dibangun sekarang ini, kata Haris, belum lah cukup untuk mengurai kemacetan di Jakarta. Sebab jika bicara TOD pergerakan harus mencapai 60% menggunakan angkutan umum. Kedepan, mengingat ketersediaan lahan yang terbatas, jaringan transportasi publik di Jakarta tidak akan lagi concerned ke Busway yang berbasis jalan melainkan lebih berbasis rel.
“Kedepan jaringan transportasi publik di Jakarta tidak bisa lagi mengandalkan busway yang berbasis jalan, tetapi harus melakukan terobosan; bagaimana transportasi bisa lebih massal, lebih efisien dari sisi ruang, dan lebih efisien dari sisi pembiayaan. Yaitu dengan mengembangkan lebih jauh jaringan transportasi publik berbasis rel,” kata Haris.
Selain MRT, LRT Jakarta, LRT Jabodebek, dan kereta commuter line, moda transportasi lainnya yang bisa dikembangkan di Jakarta adalah sky train (kereta melayang/kalayang). Saat ini, kalayang sudah dioperasikan khusus di Bandara Soekarno-Hatta. Kedepan, kalayang akan dibangun sebagai transportasi massal di Jakarta.
Dikatakan Haris, Kalayang akan dibangun dengan memanfaatkan median-median jalan dan bantaran-bantaran sungai yang ada di Jakarta. Untuk itu, DTKJ sudah melakukan studi banding ke kota Wu Han di China dalam hal kalayang.
“DTKJ akan terus memberikan rekomendasi kepada Gubernur DK Jakarta untuk melakukan berbagai terobosan dalam upaya mengurai kemacetan lalu lintas di kota Jakarta. DTKJ ingin mendorong agar angkutan umum diberikan keunggulan, baik dari sisi pelayanannya, kondisinya, maupun integrasinya. Jika terobosan-terobosan dalam jaringan transportasi publik ini terealisasi dan 60 persen pergerakan masyarakat menggunakan angkutan umum, bukan tidak mungkin pada tahun 2040 kota Jakarta akan terbebas dari kemacetan lalu lintas,” Haris menambahkan.
Haris yang kini menjabat sebagai Ketua DTKJ untuk periode kedua (2023-2026) ini mengakui bahwa dalam hal membangun transportasi publik, Jakarta sudah terlambat 30 tahun.
Tetapi tidak ada kata terlambat. DTKJ akan terus memberikan rekomendasi kepada Gubernur DK Jakarta untuk membangun transportasi publik yang berkeadilan dan beradab. (Hasanuddin)