Sustainability

80% Sertifikat Halal Terkait Food Safety

Sertifikat halal tak melulu aspek keagamaan. Tapi sesungguhnya soal keamanan dan keselamatan pangan (food safety).

JAKARTA, Improvement – Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) sudah mencanangkan bahwa pada 18 Oktober 2024 seluruh produk olahan makanan dan minuman (mamin), hasil sembelihan yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, wajib mengantongi sertikat halal.

Pemerintah tentu saja tak bisa serta merta mewajibkan sertifikasi halal pada tanggal itu, mengingat produk mamin di Indonesia didominasi oleh Usaha, Kecil, dan Mikro (UKM) yang jumlahnya lebih dari 64 juta. Tanggal 18 Oktober 2024 kemudian ditetapkan sebagai tahap pertama kewajiban sertifikasi halal.

Kewajiban ini merupakan bentuk intervensi pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian kehalalan dan pelindungan hukum kepada masyarakat.

“Sertifikat halal merupakan mandatory sesuai amanah dalam UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal beserta turunannya yang antara lain PP No 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Mau makanan olahan produksi UMKM maupun industri skala besar, semua harus mengantongi sertifikat halal,” kata Dr H Pay Paiya, MM, pakar food safety dari Perkumpulan Penyelenggara Jasa Boga Indonesia (PPJI) kepada Improvement, belum lama ini di Jakarta.

1 Juta Sertifikat Halal

Pada tahun 2023, pemerintah sudah menggulirkan program 1 juta sertifikat halal bagi para pelaku UKM melalui skema self declare (pernyataan halal dari pelaku usaha).

Dikatakan, ada tiga kelompok produk yang  sudah harus bersertifikat halal sebelum tanggal 18 Oktober 2024. Pertama, produk makanan dan minuman (mamin). Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Menurut Pay, sertifikat halal bukan semata aspek keagamaan yaitu soal halal atau haramnya suatu produk makanan dan minuman. Lebih dari itu, sertifikat halal diterbitkan pemerintah untuk memberikan keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan kepastian kesehatan pada setiap olahan makanan yang diproduksi dan diedarkan ke masyarakat.

Dr H Pay Paiya, MM. (Foto: Dok Hasanuddin)

“Di situ terkandung aspek food safety. Sekitar 80 persen dari sertifikat halal sesungguhnya menyangkut soal food safety. Sertifikat Halal hanya memastikan saja,” Pay menegaskan.

Dalam sertifakat hal, sambung Pay, terkandung aspek ISO 22001:2018 (Sitem Manajemen Keamanan Pangan) dan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).

“Berdasarkan ISO 22001: 2018 dan HACCP, semua produk olahan makanan harus dipastikan keamanan, kesehatan, dan keselamatannya sebelum dikonsumsi masyarakat. Sertiikat halal mengatur aspek keamanan dan keselamatan pangan mulai dari hulu di bagian penyediaan bahan pangan (pertanian dan peternakan), tengah (proses pengolahan makanan dan minuman), hingga hilir (diedarkan dan dikonsumsi masyarakat),” beber Pay.

Sertifikat halal, mendorong agar semua pelaku usaha makanan dan minuman untuk memberlakukan aspek food safety yang pada gilirannya diharapkan terciptanya budaya food safety di masyarakat.

Food safety menyangkut soal keamanan dan ketahanan pangan serta soal bagaimana kita makan yang baik dan benar. Dari hulu ke hilir dalam industri makanan.

Pay mengakui edukasi tentang makanan di Indonesia masih kurang. Sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung makan sekadar untuk pemenuhan kebutuhan perut yang sedang lapar saja.

Berbeda dengan masyarakat di negara maju yang sudah memperhatikan segala aspek dari makanan yang akan disantapnya. Terutama aspek kebersihan dan kesehatan yang dinilai Pay sudah sangat luar biasa.

“Masyarakat di Indonesia cenderung makan ya asal makan saja, sekadar mengisi perut yang keroncongan. Padahal makanan yang sehat adalah makanan yang bisa dipastikan asal-usulnya mulai dari pengadaan bahan, penyimpanan, pengolahan, hingga pengemasan dan penyajiannya,” pungkas Pay. (Hasanuddin)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button